B.Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
1. Politik
Luar Negeri Indonesia
Politik luar negeri adalah kumpulan
kebijakan atau setiap yang ditetapkan oleh suatu negara untuk mengatur hubungan
dengan negara lain yang berpijak kepada kepentingan nasional negara yang
bersangkutan. Bagi Indonesia, politik luar negeri adalah kebijakan, sikap dan
langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan
dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasionalnya
guna mencapai tujuan nasional. Jadi politik luar negeri Indonesia tidak lain
adalah bagian dari politik nasional yang merupakan penjabaran dari cita-cita
nasional dan tujuan nasional negara Indonesia.
Sebaiknya Anda Tahu
PM Howard Memahami
Kemarahan Jakarta
(Sumber
Kompas 26 Maret 2006)
Juru Bicara
Perdana Menteri John Howard, seperti dikutip sejumlah media Australia Sabtu
25?3 2006, mengatakan dirinya bisa memahami reaksi Indonesia terhadap pemberian
visa bagi 42 warga Papua. Disebutkan juga PM Howard mengerti sikap Indonesia
yang memanggil pulang duta besarnya di Australia.
Hubungan Jakarta-Canberra memanas
setelah Australia memutuskan untuk memberi visa sementara yang berlaku selama
tiga tahun bagi 42 warga Papua. Pemerintah Indonesia memprotes keras langkah
Australia yang dinilai tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitivitas rakyat
Indonesia dan tidak membantu upaya Pemerintah RI menyelesaikan persoalan Papua
melalui dialog. Langkah Australia juga dinilai telah mengonfirmasi kecurigaan
adanya elemen-elemen di Australia yang membantu gerakan separatisme di Papua.
Howard, melalui juru bicaranya kemarin
menegaskan kembali sikap Australia yang mengakui kedaulatan Indonesia terhadap
Papua. Namun, ia membantah berita sejumlah media bahwa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah menelepon dirinya hari Kamis lalu menyangkut isu ini.
Disebutkan, satu-satunya percakapan telepon di antara kedua pemimpin itu
terjadi beberapa pekan lalu. “ Ketika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menelepon beberapa pekan lalu, PM Howard
megatakan bahwa status ke-43 warga Papua akan ditentukan menurut hukum
Australia”, demikian pernyataan Juru Bicara Howard.
Guru Besar Hukum Universitas
Indonesia Hikmahanto Juwono, Sabtu malam, keopada Kompas mengatakan, persoalan
Warga Papua ini hantya dapat diselesaikan dengan pencabutan kembalai visa
tinggal sementara. Jika langkah itu belum dilakukan Pemerintah Australia,
Indonesia harus membawa masalah ini ke level berikutnya. Namun jangan sampai
memutus hubungan diplomatik kedua negara. Menurut Hikmahanto, protes Indonesia
dengan memanggil pulang Duta Besar (Dubes) Hamzah Thayeb dapat dilanjutkan
selama belum ada penarikan suaka dari 42 warga Papua itu. Langkah yang dapat
dilakukan Indonesia, antara lain menghentikan bantuan dari Australia dan kerja
sama dalam pemberantasan terorisme atau menutup sementara Kedutaan Besar
Indonesia di Canbera.
Menanggapi pernyataan Menteri Luar
Negeri Australia Alexander Downer yang menyatakan bahwa reaksi Indonesia sudah
diperkirakan, namun hanya akan berlangsung beberapa saat itu, menurut Hikmahanto,
sangat disayangkan. Itu berarti Pemerintah Australia tidak dapat membaca sikap
yang ditunjukkan oleh Indonesia. “Kalau benar Australia mendukung integrasi
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), maka pencabutan kembali visa menjadi
simbol dukungan tersebut. Seharusnya Australia yang mendukung demokrasi di
Indonesia paham betul bahwa hal ini sensitive bagi publik di Indonesia”, ujar
Hikahanto.
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR
Djoko Susilo (Fraksi Partai Amanat Nasional) menilai, langkah yang dilakukan
Pemerintah Indonesia sudah benar. Ia juga meminta pihak eksekutif dan
legislative, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk msementara menunda
rencana kunjungannya ke Australia selama pemasalahan ini belum tuntas. Langkah
ini menunjukkan keseriusan Indonesia. “Setelah reses, kami juga akan mengundang
Dubes Indonesia untuk Australia ini untuk menjelaskan situasi resminya seperti
apa. Indonesia harus bersikap tegas. Sikap Australia ini manis di mulut, tapi
menusuk dari belakang”, kata Djoko.
Hal senada dikemukakan Wakil
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Priyo Budi Santoso di Bandung, yang menilai
langkah Pemerintah RI yang mengirimkan nota protes belum cukup. Ia menganggap
pernyataan Dubes Australia untuk Indonesia Bill Farmer yang menyatakan tetap
mendukung NKRI dengan kenyataan di lapangan, berupa pemberian Visa tinggal bagi
42 warga Papua, mencerminkan bentuk kebijakan yang saling bertentangan. “Sudah
beberapa kali Pemerintah Australia membuat kebijakan yang menikam dari belakang
pemerintah kita”, katanya.
Dari Papua, Ketua Majelis
Pertimbangan Mahasiswa Universitas Cedrawasih Decky Ovide, Sabtu, mengatakn,
pemberian visa tinggal sementra bagi 42 warga Papua tidak pantas terjadi karena
kondisi keamanan di Papua masih kondusif. “Realitas yang terjadi di Papua tidak
sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh mereka yang pergi ke luar negeri.
Kondisi keamanan rakyat Papua masih terjamin”, katanya. Sedangkan Ketua
Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah Papua Hermann Saud menilai masalah ini
tidak perlu dibuat berlarut-larut.”Rakyat Indonesia jumlahnya 220 juta orang,
kenapa kita harus menghabiskan energi untuk 42 orang itu. Lebih penting
bagaimana pemerintah menciptakan kondisi untuk membangun persepsi bahwa Papua
aman”, ujarnya.
Menurut Saud dan Decky, peristiwa
pemberian suaka itu terjadi karena ada orang-orang yang memanfaatkan kasus
kerusuhan Abepura. Kelemahan kita adalah banyaknya peristiwa di masa lalu yang
dijadikan referensi oleh pihak luar negeri. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda
Nusantara juga berpendapat, tidak ada alas an bagi 43 warga Papua untuk
menyeberang ke Australia. Meskipun demikian, lanjutnya yang lebih penting
adalah bagaimana Pemerintah Indonesia memberikan gambaran kepada dunia
internasional bahwa kondisi di Papua adalah baik, di mana hak asasi manusia
dihormati.
Gambar gedung Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Dari sini kebijakan luar negeri Indonesia dikendalikan
2. Landasan
Politik Luar Negeri Indonesia
Landasan ideal Pancasila (Sila ke
dua). Landasan konstitusional UUD 1945 (pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, dan
batang tubuh UUD 1945 pasal 13 ayat 1, 2 dan 3). Sedangkan landasan operasional
(Tap MPR No. IV/MPR/1999, tentang GBHN Bab IV sub bidang politik).
Sebaiknya Anda Tahu
Landasan Politik Luar Negeri Republik Indonesia
Politik
luar negeri Indonesia berpijak pada landasan-landasan sebagai berikut:
1) Landasan
Idiil
Landasan idiil adalah Pancasila, bahwa
bangsa Indonesia mengakui semua manusia sebagai ciptaan tuhan yang mempunyai
martabat yang sama, tanpa memandang asal-usul keturunan, menolak penindasan
manusia atas manusia atau penghisapan oleh bangsa lain, menempatkan persatuan
dan kesatuan, menunjukkan bangsa Indonesia yang memiliki sifat bermusyawarah
untuk mencapai mufakat dan menunjukkan pandangan yang menginginkan terwujudnya
keadilan sosial dengan mengembangkan perbuatan yang luhur, mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan.
2) Landasan
Konstitusional (UUD 1945)
(a) Pembukaan
UUD 1945 alinea pertama yang menyatakan bahwa : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusian dan perikeadilan.
(b) Pembukaan
UUD 1945 Alinea keempat yang menyatakan bahwa: “....ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial ....”
Pasal-pasal UUD 1945:
Pasal 11 ayat 1 Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Pasal 13 ayat 1 Presiden mengangkat duta dan konsul.
Pasal 13 ayat 2 Dalam mengangkat duta, Presiden
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13 ayat 3 Presiden menerima penempatan duta negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Landasan Operasional
Undang-Undang
No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Kebijakan
presiden dalam bentuk keputusan presiden.
Kebijakan menteri luar negeri yang
membentuk peraturan yang dibuat oleh menteri luar negeri.
3. Asas
Politik Luar Negeri Indonesia
Asas politik luar negeri Indonesia
adalah bebas aktif. Bebas artinya tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang
pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Aktif artinya
tidak pasif atas kejadian-kejadian internasional melainkan aktif
menjalankan kebijakan luar negeri. Aktif dalam arti ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sebaiknya Anda tahu
Ciri-ciri Politik Bebas Aktif
“Bebas”
dan “Aktif”, dalam hampir semua pernyataan resmi pemerintah kedua-duanya
disebut sebagai sifat politik luar negeri RI. Tapi dalam
pernyataan resmi lainnya ditambahkan pula sifat-sifat lain seperti
“antikolonialisme” atau “anti imperialime”, dan di samping itu ada pula yang
mencantumkan “mengabdi kepada kepentingan nasional” dan sebagainya, sebagai
sifat politik bebas aktif. Sebenarnya, jika dokumen-dokumen pemerintah diteliti
secara seksama, maka akan dapat disaksikan bahwa hingga kini belum ada
keseragaman dalam penentuan sifat politik bebas aktif itu.
Sebagai
contoh marilah kita lihat Ketetapan MPRS No. XVII/5 Juli 1996, yang di dalamnya
disebutkan bahwa sifat politik luar negeri adalah:
(a)
Bebas Aktif, Anti Imperialisme dan
kolonialisme ... dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia ...
(b) Mengabdi
kepada kepentingan nasional dan Amanat Penderita Rakyat.
Sedangkan dalam dokumen “Rencana
Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia” (1984 – 1989) yang
telah ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tanggal 19 Mei
1983, dijelaskan bahwa sifat politik luar negeri adalah:
(1) Bebas Aktif ...
(2) Anti Kolonialisme ....
(3) Mengabdi kepada kepentingan nasional dan ....
(4) Demokratis.
Dalam risalah “Politik Luar Negeri” yang
disusun oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Masalah Luar
Negeri Departemen Luar Negeri, yang disebut sifat politik luar negeri hanya
Bebas Aktif serta Anti Kolonialisme dan Anti Imperialme saja.
Dengan
demikian, karena ‘Bebas” dan “Aktif” merupakan sifat yang melekat secara permanen pada batang
tubuh politik bebas aktif, sehingga dapat dikatakan sebagai ciri-ciri politik
bebas aktif, sedangkan “Anti-Kolonialisme” dan “Anti Imperioalisme” dapat
disebut sebagai sifat.
4. Tujuan
Politik Luar Negeri Indonesia
Ada tiga hal pokok yang menjadi
tujuan politik luar negeri Indonesia, (a) mempertahankan kemerdekaan dan
menghapuskan segala bentuk penjajahan, (b) memperjuangkan perdamaian yang
abadi, (c) memperjuangkan susunan ekonomi dunia yang berkeadilan.
Pembukaan
UUD 1945 menyebutkan antara lain: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, ...”.
Rumusan ini merupakan sumber utama bagi politik luar negeri Republik Indonesia.
Sejak
bangsa Indonesia berjuang untuk melepaskan belenggu penjajahan dari Belanda,
cita-cita Bangsa Indonesia tidak terlepas kepada pencapaian kemerdekaan.
Pemimpin-pemimpin pergerakan nasional dengan tegas menyatakan: Indonesia
merdeka dan berdaulat hanyalah merupakan sarana, suatu alat untuk mencapai
susunan kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh Rakyat Indonesia. Untuk
mengejar serta melaksanakan cita-cita
nasional itu perlu adanya kerja sama dan hubungan yang baik dengan
bangsa-bangsa yang lain di seluruh dunia. Hal-hal inilah yang merupakan titik
tolak politik luar negeri Indonesia.
Sebaiknya Anda Tahu
Muhammad
Hatta dalam bukunya yang berjudul “Dasar Politik Luar Negeri Indonesia”
menjelaskan mengenai tujuan politik luar negeri Republik Indonesia yang
pokok-pokoknya adalah sebagai berikut:
1)
Mempertahankan, kemerdekaan bangsa dan
menjaga keselamatan.
2)
Memperoleh dari luar negeri
barang-barang yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat juka barang-barang
tersebut belum dapat dihasilkan sendiri, misalnya: barang-barang kapital,
barang-barang industri, obat-obatan dan lain-lain.
3)
Perdamaian Internasional dengan
suasana damai kita dapat membangun dan mewujudkan kemakmuran rakyat.
4)
Persaudaraan segala bangsa sebagai
pelaksanaan dari cita-cita yang tersimpulkan dari Pancasila.
Maka untuk tujuan politik negeri
Indonesia menyebutkan pokok-pokok politik negerinya antara lain:
1)
Politik Damai (Tidak suka
perang/cara-cara konflik dalam menyelesaikan permasalahan).
2)
Bersahabat dengan segala bangsa atas
dasar harga menghargai tanpa mencampuri soal struktur dan bentuk pemerintahan
negara lain.
3)
Memperkuat sendi-sendi Hukum
internasional dan Organisasi Internasional untuk menyusun perdamaian yang kekal.
4) Berusaha dalam Persekutuan Bangsa-Bangsa
untuk mencapai kemerdekaan bangsa-bangsa lain yang belum merdeka hingga saat
ini. (Frans S. Fernandes 1988:100)
Gambar Kantor Kedutaan Besar RI
di salah satu negara
5. Perkembangan Politik Luar Negeri Republik
Indonesia
Perang
Dunia II telah membawa perubahan-perubahan yang besar pengaruhnya terdapat
politik bebas aktif, antara lain beralihnya pusat kekuasaan dunia dari Eropa di
satu pihak ke Amerika Serikat, dan di pihak lain ke Uni Soviet, yang kemudian
menjadi dua kekuatan raksasa dunia. Perubahan lain yang juga mempunyai pengaruh
besar terhadap politik bebas aktif adalah meledaknya semangat nasionalisme dan
anti penjajahan terutama di Asia Afrika.
a. Perang
Dingin
Berhubung
kedua kekuatan raksasa tersebut mempunyai sistem dan kepentingan yang sangat
berbeda, maka dengan sendirinya terdapat perselisihan pendapat antara keduanya.
Perselisihan itu sebenarnya telah mulai tampak ketika Perang Dunia II memasuki
babak terakhir, terutama dalam menentukan nasib negara-negara yang kalah
perang. Tetapi perselisihan tersebut baru memuncak dengan hebat setelah
berakhirnya perang. Perkembangan hubungan kedua negara raksasa itu dalam massa
pasca perang dikenal dengan nama Perang Dingin yang penuh dengan serba aneka ketegangan.
Dalam
suasana Perang Dingin tersebut kekuatan raksasa itu berlomba-lomba menyusun dan
mengembangkan kemampuannya di semua bidang, baik politik, ekonomi, militer
budaya maupun propaganda. Kedua kekuatan itu membagi dunia dalam dua blok yang
bersaingan satu sama lain dalam menanamkan pengaruh masing-masing terhadap
negara lain di dunia.
Pembagian
dunia dalam dua kutub seperti diuraikan di atas dikenal pula dengan sebutan
bipolaritas, di mana masing-masing menuntut supaya semua negara di dunia ini
menjatuhkan pilihannya kepada salah satu blok. Pilihan itu demikian ketatnya,
sehingga sikap tidak “pro” sudah dianggap “anti”, sedangkan sikap netral
dikutuk.
b. Lahirnya
Politik Bebas Aktif
Perang
Dunia II tidak saja menciptakan bilpolaritas dalam hubungan internasional
tetapi juga membawa perubahan mendasar dalam proses dekoloni-sasi. Sebagai
akibatnya semangat kebangsaan secara merata meluap-luap dan meledak dalam
bentuk perjuangan kemerdekaan terhadap penjajahan. wilayah jajahan Belanda,
Hindia Timur, yang diduduki Jepang selama Perang Pasifik tidak terkecuali. Dua
hari sesudah Jepang menyerah, pada tanggal 17 Agustus 1945, jajahan Belanda itu
menyatakan kemerdekaannya seluruh dunia.
Dengan
proklamasi tersebut muncullah Indonesia sebagai negara merdeka di peta dunia,
dan sesuai dengan tuntutan pembukaan UUD
1945 yang disahkan sehari kemudian, yaitu tanggal 18 Agustus 1945, yang dalam
pembukaannya disebutkan, bahwa Indonesia, perdamaian abadi dan keadilan sosial”,
maka lahir pulalah politik luar negeri pemerintah RI yang dikenal dengan nama
“Politik Bebas Aktif”.
Sebaiknya
Anda tahu
Keterangan
PM Hatta di depan BP KNIP Tentang Politik Bebas Aktif
Wakil presiden Mohammad Hatta yang waktu
itu memimpin Kabinet Presidensiil dalam memberikan keterangan di muka Badan
Pekerja KNIP (Parlemen), tanggal 2 September 1948, mengemukakan pernyataan yang
merupakan penjelasan pertama tentang politik bebas aktif. Dalam keterangannya
tersebut PM Hatta bertanya, mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memiliki antara pro Rusia atau
pro Amerika? Apakah tidak ada pendirian lain yang harus kita ambil dalam
mengejar cita-cita kita?” (M. Hatta, 1976:17).
PM. Hatta menjawab sendiri pertanyaannya
dengan menggaris bawahi, Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita
ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik
internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan
sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia
merdeka seluruhnya (M. Hatta, 1976: 18).
Dalam keterangannya tersebut, PM. Hatta
tidak sekalipun menyebut kata-kata politik bebas aktif, tetapi hal itu tidak
usah digunakan, karena dalam keterangan pada kesempatan lain beliau telah
berulang kali menyebut istilah politik bebas aktif, apabila menyebut politik
luar negeri RI. Lagi pula keterangannya tanggal 2 September 1948 tersebut,
berjudul ‘Mendayung antara Dua Karang” yang artinya tidak lain dari politik
bebas aktif. “Mendayung” sama artinya dengan upaya (aktif), dan “antara dua
karang” adalah tidak terikat oleh dua kekuatan adikuasa yang ada (bebas).
Gambar
Konferensi Asia Afrika di Bandung
lewat
konferensi ini solidaritas negara-negara berkembang semakin solid
c. Perkembangan
Politik Bebas Aktif dari Kabinet Ke Kabinet
Keterangan
Kabinet Natsir kepada Parlemen pada bulan September 1950, juga meninjau politik
luar negeri dari segi pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet,
antara lain disebutkan “Antara dua kekuatan yang timbul, telah muncul
persaingan atas dasar pertentangan ideologi danhaluan yang semakin meruncing.
Kedua belah pihak sedang mencari dan mendapatkan kawah atau sekutu, membentuk
golongan atau blok: Blok Barat dan Blok Timur. Dengan demikian pertentangan
paham dan haluan makin merluas dan mendalam, sehingga menimbulkan keadaan
perang dingin dan dikuatirkan sewaktu-waktu akan menyebabkan perang di daerah
pernatasan antara dua pengaruh kekuasaan
itu. Dalam keadaan yang berbahaya itu Indonesia telah memutuskan untuk
melaksanakan politik luar negeri yang bebas. Dalam menjalankan politik yang
bebas itu kepentingan rakyatlah yang menjadi pedomannya, disamping itu
pemerintah akan berusaha untuk membantu tiap-tiap usaha untuk mengembalikan
perdamaian dunia, tanpa jadi politik oportunis yang hanya didasarkan
perhitungan laba dan rugi dan tidak berdasarkan cita-cita luhur. (Muh. Hatta,
1953:17).
Keterangan
Kabinet Sukiman kepada Parlemen pada bulan Mei 1951 mengatakan antara lain
politik luar negeri RI tetap berdasarkan Pancasila, pandangan hidup bangsa yang
menghendaki perdamaian dunia. Pemerintah akan memelihara hubungan persahabatan
dengan setiap negara dan bangsa yang menganggap Indonesia sebagai negara dan
bangsa bersahabat, berdasarkan harga-menghargai, hormat-menghormati.
Berhubungan dengan adanya ketegangan politik, yaitu antara Blok Uni Soviet dan
Blok Amerika Serikat, maka pemerintah Indonesia tidak akan menambah ketegangan
itu dengan turut campur dalam perang dingin yang merajalela antara dua blok itu.
Atas pendirian di muka, maka Republik Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentu menggunakan forum PBB tersebut untuk membela
cita-cita perdamaian dunia.
Kabinet
Wilopo menerangkan kepada Parlemen pada bulan Mei 1952 antara lain: ... asal
mulanya pemerintah menyatakan sikap bebas dalam perhubungan luar negeri, ialah
untuk menegaskan bahwa berhadapan dengan kenyataan aadanya dua aliran
bertentangan dalam kalangan internasional yang mewujudkan dua blok: yaitu Blok
Barat dengan Amerika Serikat dari sekutu-sekutunya, dan Blok Timur dengan
Soviet dan teman-temannya. Republik Indonesia bersifat bebas dengan makna:
(1) tidak memilih salah satu pihak untuk selamanya
dengan mengikat diri kepada salah satu blok dalam pertentangan itu dan
(2) tidak mengikat diri untuk selamanya, tidak
akan campur tangan atau akan bersifat netral dalam tiap-tiap peristiwa yang
terbit dari pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur.
Sebaliknya, oleh karena keterangan sikap
yang semata-mata bersifat negatif itu, ternyata menimbulkan salah paham atau
sedikit keragu-raguan dalam kalangan aliran-aliran politik kepartaian dalam
negara ataupun pada pihak dua blok yang bertentangan itu, atau salah satunya.
Dalam sesuatu soal atau peristiwa yang timbul yang mengenai pertentangan antara
dua blok itu Republik Indonesia telah mendasarkan sikapnya kepada politik bebas
aktif dengan mengingat:
(1) paham tentang niat dan tujuannya sebagai
anggota yang ikhlas, setia dan bersungguh-sungguh daripada Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan
(2) pandangannya tentang kepentingan negara lain
bangsanya yang berpengaruh besar pada jangka pendek ataupun jangka panjang.
Dengan pengecualian politik luar negeri
RI di masa antara 1960 sampai 1965, pemerintah berikutnya senantiasa tetap
berpegang teguh kepada prinsip bebas aktif dalam pelaksanaan polik luar
negerinya sesuai dengan keterangan PM Hatta tanggal 2 September 1948 tersebut.
d. Wujud
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Kebebasan
Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri dibuktikan oleh Presiden
Soeharto dengan mengadakan kunjungan ke Uni Soviet 1989, diikuti peningkatan
hubungan regional dan internasional:
1) Ikut serta dalam ASEAN
Indonesia bukan hanya ikut mendirikan
ASEAN tetapi sehingga Sekjen pertamanya dipercayakan kepada HR. Dharsono dari
Indonesia. Indonesia menyediakan tempat dan gedung untuk sekretariat ASEAN di
Jakarta.
2) Peran Kontingen Garuda Indonesia
Sumbangan RI dalam mewujudkan perdamaian
Dunia dengan mengirimkan kontigen Garuda sampai empat belas kali.
3) Peran dalam KTT Non-Blok
Republik
Indonesia sebagai salah satu negara pendiri Gerakan Non Blok tidak pernah absen
setiap diselenggarakan KTT yang sudah dua belas kali, Indonesia menjadi tuan
rumah KTT Non Blok kesepuluh pada tahun 1992.
4) Peranan dalam Organisasi Konferensi Islam
Walaupun RI
bukan Negara Islam tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam, maka dapat
diterima menjadi anggota OKI dan banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi
kepentingan umat Islam.
5) Peran dalam PBB
Aktifitas
Indonesia dalam PBB nyata dengan terpilihnya Menlu Indonesia Adam Malik sebagai
Ketua Sidang Umum PBB pada tahun 1974. Keberhasilan Indonesia dalam produksi
pangan menyebabkan dijadikan wakil negara berkembang dalam sidang FAO di Roma.
Keberhasilan dalam Program Keluarga Berencana menyebabkan Indonesia menjadi
contoh negara-negara lain dalam program kependudukan.
0 komentar:
Posting Komentar