C.Partisipasi Politik yang Sesuai dengan Sistem Politik yang Berlaku di Indonesia
1. Partisipasi
Politik
Berbicara tentang partisipasi politik,
tidak lepas dari konteks negara dimana warganegara itu hidup dan bertempat
tinggal. Dengan demikian, pembicaraan tentang partisipasi politik akan
menyinggung peta sistem politik dan negara di mana sistem politik yang
bersangkutan berlangsung.
Partisipasi politik adalah usaha
terorganisasi dari para warga negara untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya
kebijaksanaan umum. Dengan demikian partisipasi politik jelas tidak sama
maknanya dengan mobilisasi yang digerakkan oleh golongan elite untuk pemenuhan
kepentingannya sendiri. Cukup lama berlangsung dalam sejarah, hak untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik, untuk memberikan suara
ataupun hak untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan telah
dibatasi hanya untuk sekelompok kecil orang-orang yang berkuasa, kaya serta
dari keturunan terpandang.
Gabriel A Almond dalam dalam bukunya Comparative
Politics Today melihat bahwa kecenderungan ke arah partisipasi politik
rakyat yang lebih luas bermula pada masa Renaisance dan Reformasi Abad
XVI sampai abad XVII, dan memperoleh dorongan kuat Jaman Terang maupun
pada masa Revolusi Industri di sekitar abad XVIII dan abad XIX.
Partisipasi politik dalam sebuah
negara tidak mungkin timbul kalau pihak penguasa negara tidak mengharapkan
proses sosialisasi politik terjadi di negaranya. Kebanyakan hambatan-hambatan
yang timbul dalam mewujudkan partisipasi politik, berkaitan langsung dengan
bagaimana sikap negara-negara, khususnya elite yang memerintah, terhadap
partisipasi politik rakyat.
Hambatan-hambatan yang sering nampak
di negara-negara sedang berkembang antara lain adalah:
a.
Tidak
diperkenankannya partai oposisi menyelenggarakan kegiatan.
b.
Tidak dikehendakinya
partai politik ada di dalam negara, sebagai mana yang biasa terjadi di
negara-negara yang dikendalikan oleh penguasa elite.
c.
Adanya pembatasan
keanggotaan partai kader di negara-negara yang bersistem partai tunggal.
d.
Keanggotaan yang
bersifat formal dalam partai massa.
e.
Adanya sikap
hati-hati dari para peninjau politik baik dalam berbicara maupun dalam menulis.
f.
Sering diberangusnya
media pers.
g.
Kurang diletakkannya
pemilihan umum pada porsi yang wajar.
Dari berbagai kecenderungan yang
menghambat efektivitas partisipasi politik rakyat di neghara-negara sedang
berkembang tersebut, kalau disimak lebih jauh akan kelihatan bahwa kesemua hal
itu bermula dari pemerintah sendiri yang tidak berkenan membagi kekuasaan yang
dimilikinya kepada golongan lain, serta tidak relanya elite yang berkuasa untuk
memberikan kebebasan mengkritik dari anggota masyarakatnya.
Untuk lebih memperkuat keyakinan
bahwa tingkat sosialisasi sangat
mempengaruhi tingkat partisipasi politik, adalah dengan melihat dua tolok ukur
yang digunakan dalam menilai partisipasi politik itu sendiri. Pertama
pengetahuan dan penghayatan terhadap politik yang mereka miliki, antara lain
tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warganegara. Bagi mereka yang
mempunyai pengetahuan dan penghayatan yang tinggi terhadap politik diperkirakan
akan mampu berpartisipasi secara aktif dan lebih rasional. Kedua, kepercayaan
masyarakat terhadap sistem politik yang berlaku. Kadar kepercayaan itu antara
lain ditentukan oleh kemampuan sistem politik itu menjawab tuntutan-tuntutan
yang wajar dari masyarakat secara memuaskan.
Sejauh dua tolok ukur tersebut bisa
direalisir dalam kehidupan bernegara, maka usaha-usaha partisipasi politik
rakyat bisa terwujud sesuai dengan sifat hakikinya. Sebaliknya, jika kedua
tolok ukur tersebut, yang pada hakekatnya bisa ditempuh lewat peningkatan
proses sosialisasi politik, tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat maka
sukar bagi warga masyarakat yang bersangkutan untuk mewujudkan atau tidak
pernah ada kesempatan untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah politik.
Gambar
unjuk rasa menentang kenaikan BBM
bentuk
partisipasi rakyat
untuk
mempengaruhi kebijakan publik.
2. Pola Partisipasi
Politik
Gabriel A Almond telah mencoba
mengungkapkan secara garis besar bentuk-bentuk partisipasi politik yang pernah
digunakan di berbagai negara. Dari berbagai bentuk yang sempat diinventarisasi,
kemudian diklasifikasikan dalam dua pola yang umum sifatnya, yaitu pola
konvensional sebagai suatu bentuk partisipasi politik yang dianggap umum
berlangsung dalam demokrasi modern, serta pola partisipasi politik non
konvensional, merupakan kebalikan dari bentuk yang pertama.
Menurut Almond, bentuk partisipasi
politik yang sudah dianggap sebagai bentuk normal atau sudah umum dalam
demokrasi modern adalah meliputi aktivitas pemberian suara (voting), diskusi
politik, kegiatan kampanye, bergabung dalam kelompok kepentingan, atau
melaksanakan komunikasi individual dengan pejabat-pejabat politik maupun
administratif.
Bentuk partisipasi politik yang berupa
pemberian suara (voting), boleh jadi merupakan suatu bentuk yang paling umum
digunakan dari masa lampau sampai sekarang, baik dalam masyarakat tradisional
maupun yang modern. Di samping itu pemberian suara ini boleh jadi merupakan
bentuk partisipasi politik aktif yang paling luas tersebar di berbagai
masyarakat.
Bentuk partisipasi politik yang berupa
diskusi-diskusi umumnya berlangsung di negara-negara dengan sistem politik
demokratis dan jarang bisa dilaksanakan di negara-negara totaliter. Diskusi
politik sebagai perwujudan partisipasi politik adalah menyangkut
pemikiran-pemikiran yang tersimpul dalam aktivitas diskusi itu sendiri. Diskusi
politik adalah usaha-usaha yang dilaksanakan oleh sekelompok warganegara untuk
membicarakan dan memecahkan persoalan-persoalan politik negaranya, sekaligus
ikut mencari alternatif pemecahannya. Namun demikian, biasanya diskusi politik,
atau lebih tepatnya autput yang dihasilkan baik berupa tuntutan maupun
dukungan, tidak mengikat pihak penguasa. Ditinjau dari sudut peserta yang ikut
berpartisipasi dalam diskusi politik, tidak seluas bentuk partisipasi politik
lewat pemungutan suara, karena untuk bisa menjadi peserta dibutuhkan
ketrampilan-ketrampilan tertentu. Dengan kata lain bentuk partisipasi ini hanya
bisa dilaksanakan oleh warga negara yang memiliki tingkat intelektual tertentu.
Bentuk partisipasi politik yang lain,
yaitu kegiatan kampanye. Ditinjau dari segi kuantitasnya, lebih banyak
disbanding dengan diskusi politik, namun dari segi kualitas tampak adanya dua
kelompok dalam kegiatan tersebut. Yang pertama kelompok mayoritas yang
kegiatannya terbatas pada ikut-ikutan saja tanpa didasari kejernihan berpikir
serta strategi tertentu. Dan yang kedua adalah kelompok minoritas yang selain
aktif dalam kegiatan kampanye juga berperan sebagai penggerak atau motornya.
Kegiatan kmpanye sebagai suatu bentuk partisipasi politik, sudah umum dilaksanakan
dalam negara-negara yang bersistem politik demokrasi, terlebih lagi dalam
negara yang menganut asas liberalisme, seoalah-olah kegiatan kampanye adalah
rutin dan sifatnya umum serta meliputi berbagai bidang permasalahan. Kondisi
seperti ini tidak mungkin ditemui di negara-negara yang menganut sistem
totaliter. Kegiatan kampanye, biasanya melibatkan sumber pendukung yang lebih
besar seperti waktu, tenaga dan uang. Di samping itu, tidak jarang menjurus ke
arah bentrokan fisik yang kemudian bisa mengarah kesituasi disintegrasi
nasional.
Keikutsertaan rakyat dalam kelompok
kepentingan untuk menyampaikan tuntutan kepentingannya terhadap sistem politik,
juga merupakan salah satu bentuk partisipasi politik konvensional. Kelompok
kepentingan yang dibentuk dengan tujuan untuk lebih memperkuat dan
mengefektifkan tuntutan-tuntutan yang bersifat individual itu telah ada dan
berperan dalam kehidupan politik di sepanjang sejarah. Namun demikian perlu
dicatat bahwa setiap sistem politik memiliki cara-cara tertentu dalam
merumuskan dan menangani tuntutan yang dilontarkan warganegara melalui kelompok
kepentingan tersebut.
Gabriel A. Almond, telah mengajukan
beberapa bentuk partisipasi politik non-konvensional. Bentuk-bentuk yang
dimaksudkan ialah: pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak
kekerasan terhadap harta benda ataupun manusia, dan perang gerilya ataupun
revolusi.
Kendatipun sering diasumsikan bahwa
termasuk dalam pola non-konvensional ini adalah semua bentuk partisipasi politik
yang bersifat illegal atau tidak normal, tetapi ada juga bentuk partisipasi
politik yang semula diakui legal, seperti pengajuan petisi, tetapi dalam
beberapa hal boleh dikatakan tidak wajar dilaksanakan di negara demokrasi
modern. Kendatipun demikian, kalau kita melihat ataupun membuka-buka peta
politik dunia, segera diketahui bahwa ternyata tindakan-tindakan kekerasan di
dalam politik tidak tergantung pada sistem politik yang ada, dan tidak
tergantung pada kondisi negara, dalam arti tingkat stabilitas negara yang
menjadi ajang tindakan kekerasan politik tersebut. Dengan kata lain, tindakan
kekerasan politik tidak hanya terjadi di negara-negara tertentu, tetapi terjadi
di hampir semua negara di dunia.
Dari berbagai tindakan kekerasan yang
pernah terjadi, beberapa diantaranya sempat mengguncangkan pemerintahan yang
sah, dan tidak jarang mampu menggulingkan pemerintahan sah tersbut, tetapi
banyak pula yang mengalami kegagalan yang berakibat terkuburnya
pelaku-pelakunya.
Gambar
antusiame masyarakat dalam Pilkada di suatu daerah
bentuk
partisipasi rakyat untuk memilih pemimpinnya.
3. Faktor-Faktor
Penunjang Partisipasi Politik
Meskipun sudah cukup lama
dicanangkan, bahwa manusia pada hakikatnya merupakan insane politik, tetapi
sampai sekarang ini masih ada masalah yang tetap menjadi bahan pembicaraan di
kalangan para ahli, bagaimana membawa manusia ke arah hakekat insane politik
itu sendiri. Adanya suatu kenyataan bahwa manusia diakui mempunyai berbagai hak
dan kewajiban dalam kehidupan politik negaranya, namun untuk mewujudkannya
adalah sulit, atau dalam beberapa sistem politik tidak mungkin bisa
dilaksanakan dengan baik.
Seiring dengan semakin kompleksnya
kebutuhan dan keinginan manusia dalam rangka mempertahankan eksistensinya
negara juga memandang perlu mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap
kebutuhan dan keinginan para warganegara tersebut demi eksistensi negara itu
sendiri. Konsekuensinya seringkali kita melihat terjadinya benturan-benturan di
antara keduanya, yaitu antara dan kebutuhan keinginan masyarakat atau infra
struktur dengan kebutuhan atau kemauan politik pemerintahnya atau supra
struktur.
Sebagaimana dikemukkan di atas,
bahwa tiap-tiap negara dengan tidak melihat sistem politik yang dianutnya,
mempunyai ruang dan atensi tersendiri terhadap kemungkinan-kemungkinan
partisipasi politik warganegaranya. Dalam hubungan ini ada dua pola ekstrem
yang memberi ciri terhadap kemungkinan-kemungkinan partisipasi politik
warganegaranya. Dalam hubungan ini ada dua pola ekstrem yang memberi cirri
terhadap kemungkinan partisipasi politik ini, tergantung pada sistem
politiknya.
Pola pertama, adalah yang biasa terjdi
dalam sistem politik demokrasi. Dalam pola ini dengan tidak memandang
ciri-ciri, yang pada dasarnya juga bermacam-macam, secara konseptual ada
kemungkinan yang besar akan partisipasi politik warganegaranya. Pola kedua
adalah terjadi pada negara-negara yang bersistem politik otoriter, yang pada
prinsipnya kurang memberikan tempat bagi partisipasi politik warga negara. Hal
ini terjadi karena negara-negara yang bersistem politik demikian memandang
akibat politik dari partisipasi ini merupakan awal dari situasi desintegrasi
nasional yang tidak diinginkan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sistem
politik suatu negara boleh jadi merupakan faktor penunjang utama partisipasi
politik warganegaranya.
Untuk mencari faktor-faktor lain yang
ikut menunjang aktivitas partisipasi
politik ini, bisa dilakukan dengan
mengadakan dikotomi terhadap kehidupan bernegara itu sendiri. Dari analisa
semacam ini bisa dilihat adanya dua sektor kehidupan bernegara, yaitu sektor
supra struktur, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah, dan sektor infra
struktur yang dicerminkan oleh masyarakat atau seluruh rakyat negara yang
bersangkutan. Pemisahan ini memang erat kaitannya dengan pendekatan sistem
dalam politik yang mendasarkan pada suatu anggapan bahwa berbicara masalah
sistem politik pada hakekatnya kita berbicara tentang dua hal, yaitu kehidupan
politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah.
Partisipasi politik dilihat dari sektor
supra struktur, seperti telah diuangkapkan di atas, pada umumnya berlandaskan
pada sistem politik yang dianutnya. Sedangkan dari sektor infra struktur,
meskipun tidak lepas dari sistem politiknya namun kondisi sosio-kultural
masyarakat itu sendiri ikut menunjang partisipasi politik. Hal ini berdasarkan
pada suatu analisa yang sudah dianggap wajar, bahwa kehidupan politik
mesyarakat tertentu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, melainkan mempunyai
pertautan hubungan yang erat sekali dengan masyarakat, mengingat kehidupan
politik suatu masyarakat tidak akan ada kalau masyarakat itu sendiri sebagai
wadahnya tidak pernah ada. Berdasar pada dalil-dalil sosiologis, maka tinjauan
terhadap masyarakat akan sampai kepada individu-individu yang membentuk
masyarakat tadi, sehingga tiap-tiap individu akan merupakan point of view dari telaah mengenai
partisipasi politik.
Seperti telah diungkapkan di atas,
tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang ingin diwujudkan oleh
pemerintahannya. Dengan kata lain, dalam diri tiap-tiap individu tumbuh
keinginan berpartisipasi dalam khasanah politik yang diarahkan kepada pemenuhan
kebutuhan-kebutuhannya, sehingga akhirnya individu-individu itu sendiripun
menjadi penunjang terhadap proses partisipasi politik tersebut.
Dari beberapa uraian di atas, bisa
disimpulkan bahwa pada hakikatnya antara supra struktur dan infra struktur ada
pertautan hubungan yang berperan atau menunjang proses partisipasi politik
masyarakat. Namun demikian pertautan hubungan itu sangat ditentukan oleh
beberapa factor seperti kondisi sosio-kultural masyarakat, ajaran-ajaran yang
dianut masyarakat dan negara, dan karakteristik pemerintah sebagai pemegang dan
pelaksanaan kedaulatan.
4. Sistem Politik
Indonesia
Sejak proklamasi kemerdekaannya,
Indonesia telah menerapkan suatu tata kehidupan politik dalam suatu kerangka
demokrasi. Namun demikian Indonesia
telah berulangkali menyelenggarakan sistem politik bervariasi. Bervariasinya
sistem politik tersebut berpokok pangkal pada perbedaan wawasan tentang
bagaimana sistem politik demokrasi itu seharusnya cukup tangguh untuk
melaksanakan pembangunan dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan
timbulnya praktek diktatorial. Tinjauan kesejarahan terhadap penyelenggaraan
demokrasi berdasar politik yang berlaku di Indonesia sejak proklamasi
kemerdekaan menunjukkan adanya empat model pelaksanaan yang mempunyai warna
tersendiri.
Perkembangan
demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surutnya. Dipandang dari sudut
perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
(a)
Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi
konstitusional, yang menonjolkan peran parlemen, serta partai-partai dan yang
karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer.
(b)
Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi
Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi
konstitusional yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa
aspek demokrasi rakyat.
(c)
Masa Republik Indonesia III, yaitu masa
Demokrasi Pancasila, yang merupakan Demokrasi konstitusional yang menonjolkan
sistem presidensiil (lembaga kepresidenan sangat dominan, parlemen dibuat tidak
berdaya) kekuasaan presiden menjadi tidak terkontrol.
(d)
Masa Republik Indonesia IV, yaitu masa Demokrasi
Pancasila setelah reformasi (lembaga kepresidenan dikurangi wewenangnya, DPR
menjadi lebih diberdayakan) semua itu dilakukan dengan melakukan amandemen
terhadap UUD 1945. Amandemen dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali dari tahun
1999 sampai dengan tahun 2002.
Kebanyakan pakar
menyatakan matinya demokrasi di Indonesia dimulai sejak diumumkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno sampai dengan runtuhnya Presiden Soeharto,
21 Mei 1998. Dengan kata lain Demokrasi terpimpin pada masa Soekarno dan
Demokrasi Pancasila pada Soeharto sesungguhnya tidak ada demokrasi. Demokrasi
baru mulai hidup kembali sejak era reformasi setelah lengsernya Soeharto pada
tahun 1998, akibat reformasi yang diprakarsai oleh mahasiswa. Sehingga sejak
itulah, bangsa Indonesia mulai belajar demokrasi kembali setelah tenggelam
lebih kurang 40 tahun.
Sistem
Kenegaraan Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut demokrasi, kedaulatan
berada di tangan rakyat, berdasar UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen,
kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga sebagai berikut:
(a)
Kekuasaan tertinggi diberikan oleh rakyat kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berfungsi sebagai lembaga konstitutif
(b)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat
UndangUndang, sebagai lembaga legislatif.
(c)
Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan
disebut lembaga eksekutif.
(d)
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai pemberi
saran kepada penyelenggara pemerintahan disebut lembaga konsultatif.
(e)
Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan
dan penguji aturan dibawah undang-undang disebut lembaga yudikatif.
(f)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga
yang mengaudit keuangan negara, disebut lembaga auditatif.
Setelah dilakukan amandemen UUD 1945 baik kesatu, kedua, ketiga serta keempat terjadi pergeseran sebagai berikut:
(a) MPR
tidak lagi sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat.
(b) Komposisi
MPR terdiri dari seluruh anggota DPR ditambah DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
yang seluruhnya dipilih oleh rakyat.
(c)
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang berhak
menguji undang-undang terhadap UUD.
(d) Terbentuknya
Komisi Yudisial yang mengusulkan pengangkatan hakim agung.
(e) Presiden
dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
(f) Presiden
tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR.
(g) Hak
prerogatif presiden banyak yang dipangkas.
(h) Kekuasaan
legislatif semakin dominan.
(i)
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dilikuidasi.
a. Sistem Politik di
Indonesia Antara Tahun 1945-1950
Sebulan setelah Indonesia
diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku di Indonesia, padahal
UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman
pemerintah yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai
politik, yang mendapat sambutan antusias dari rakyat. Secara politis lembaga
legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia
Pusat.
Dilihat dari segi historis,
maka kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari penjajahan
Belanda dan Jepang. Namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, tampaknya
konsentrasi seluruh masyarakat dihadapkan sepenuhnya terhadap aksi-aksi militer
dan politik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga segenap potensi
rakyat dikerahkan untuk mensukseskan revolusi bersenjata ini.
Sistem parlementer ini
merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945.
Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November
1945 menyatakan bahwa tanggung jawab politik terletak ditangan menteri. Hal ini
dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
mencabut UUDS 1950 dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara.
Disaat bangsa Indonesia
sedang menghadapi aksi-aksi Belanda, PKI melancarkan penikaman dari belakang
kepada pemerintah RI yang sah. Akibatnya beribu-ribu orang yang tidak berdosa
menjadi korban keganasan politik dan ambisi golongan yang tidak bertanggung
jawab. Untunglah hal itu dapat segera dikendalikan, dengan kesigapan pemimpin
ABRI.
Gambar Presiden Soekarno
Presiden pertama RI dipilih oleh
PPKI
b. Sistem Politik Indonesia Masa Demokrasi
Liberal (1950-1959)
Sejak tanggal 17 Agustus
1950, dengan kembalinya RI ke dalam bentuk negara kesatuan, maka berlakulah UUD
Sementara 1950 sebagai pengganti UUD RIS 1949. Negara menganut sistem
pemerintahan parlementer, dimana para menteri bertanggung jawab kepada badan
legislatif (parlemen). Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada
rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang tegas dan nyata untuk melakukan
kegiatan politik, sehingga berakibat semakin banyaknya bermunculan
partai-partai politik.
Persaingan secara terbuka
antar partai sangat kentara dalam panggung politik nasional, masing-masing
berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya. Sehingga dalam Pemilu yang
pertama sejak Indonesia diproklamirkan sangat banyak partai yang menjadi
kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat kabinet baru yang akan
berjalan, akan mantap bila di dalamnya terdapat koalisi (Ukasah Martadisastra,
1987:144).
Adanya koalisi antara
berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satupun partai yang menang
secara mayoritas mutlak. Sehingga efek negatifnya dalam kabinet adalah jatuh
bangunnya kabinet dalam tempo waktu sesingkatnya, karena partai yang berkuasa
kehilangan dukungan di parlemen, sehingga bubarlah kabinet. Akibat selanjutnya
program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan.
Menurut Prof. Usep
Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata Negara, dasar-dasarnya, memang sudah
menjadi pandapat umum di dunia sampai sekarang ini bahwa adanya partai politik
dalam negara negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat
dalam menentukan nasibnya sendiri. Tetapi dengan partai yang begitu banyak
tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas
dalam jalannya pemerintahan.
Melihat kenyataan itu
pengaruh terhadap sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan
perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi
terselenggaranya pemerintahan yang baik, dimana didalamnya memuat pokok-pokok
bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan sosial serta hak-hak
asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato
saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan
golongan atau partai.
Demokrasi politik dipakai
alasan untuk tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi
untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan
tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata
masyarakat yang bersih dari unsur-unsur feodalisme, malah semakin menutup
kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan
macetnya tugas-tugas pemerintahan.
Secara politis kondisi
demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah
ketidak mampuan dari Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai
pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antar partai politik dari
golongannya. Sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan.
Dilihat dari kepentingan
nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Sehingga Presiden Soekarno selaku
Kepala Negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante
dibubarkan,serta kembalinya ke UUD 1945, yang kemudian menghendaki terbentuknya
MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula
dimulainya babak baru pelaksanaan demokrasi.
Gambar Presiden Soekarno
mengumumkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959.
c. Sistem Politik Indonesia Masa Demokrasi
Terpimpin (Orde Lama)
Istilah demokrasi terpimpin
telah dikemukakan oleh Presiden Soekarno sewaktu membuka Konstituante pada
tanggal 10 November 1956. Hal ini menunjukkan tata kehidupan politik baru yang
mengubah segi-segi negatif demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal tidak
cocok diterapkan di Indonesia. Kesempatan yang sama pada semua orang harus
disertai pula dengan kemampuan yang kuat. Apabila tidak, warganegara yang lemah
akan tertindas oleh yang kuat.
Kemudian Presiden Soekarno
mengemukakan pokok-pokok demokrasi terpimpin, antara lain bahwa:
(1)
Demokrasi terpimpin bukan diktator.
(2)
Demokrasi terpimpin sesuai dengan kepribadian dan dasar
hidup bangsa Indonesia.
(3)
Dalam hal kenegaraan dan kemasyarakatan meliputi bidang
politik dan kemasyarakatan.
(4)
Inti pimpinan adalah permusyawaratan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan
pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra.
(5)
Oposisi yang melahirkan pendapat yang sehat dan
membangun, diharuskan dalam demokrasi terpimpin.
(6)
Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan.
(7)
Tujuan melaksanakan demokrasi terpimpin adalah mencapai
masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual.
(8)
Sebagai alat maka demokrasi terpimpin mengenal juga
kebebasan berserikat dan berkumpul dan berbicara dalam batas-batas tertentu
yaitu batas keselamatan negara, batas kepentingan rakyat benyak, batas
kesusilaan dan batas pertanggungjawaban kepada Tuhan dan seterusnya (Ukasah
Martadisastra, 1987:147).
Atas dasar pernyataan tersebut jelaslah
bahwa struktur demokrasi terpimpin bertujuan untuk menstabilkan kondisi negara
baik kestabilan politik, ekonomi maupun bidang-bidang lainnya. Walaupun
demikian maksud Presiden tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari
konstituante.
Sementara itu konstituante
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Konstituante terlibat
dalam perdebatan yang berkepanjangan dimana disatu pihak terdapat partai yang
menghendaki sosial ekonomi. Hal ini mengakibatkan golongan terbesar tidak mau
lagi menghadiri sidang-sidang konstitusional. Sehingga kegiatannya kemudian
mengalami kevakuman.
Di berbagai wilayah timbul
pemberontakan-pemberontakan seperti DI/TII, PRRI, Permesta dan sebagainya yang
melancarkan perlawanan bersenjata kepada pemerintah pusat. Kondisi ini sangat
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga pemerintah perlu
menghadapi situasi politik dan keamanan ini melalui jalan tercepat yaitu dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian lahirlah periode demokrasi
terpimpin di Indonesia.
Dalam kenyataannya
kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berpikir dibatasi dalam
tingkat-tingkat tertentu. Beberapa ketentuan dan peraturan tentang
penyederhanaan partai, pengakuan dan pengawasan serta pembubaran partai
menunjukkan bahwa Presiden mempunyai peranan dan kekuasaan terhadap kehidupan
suatu partai. Hal ini berarti Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan
dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan yang menghalanginya.
Sehingga jelas sekali bahwa nasib partai politik ditentukan Presiden.
Gambaran
kehidupan politik masa itu sebagai berikut:
(1)
Ditetapkannya 10 partai politik yang masih diakui yaitu
PNI, NU, PKI, Partindo PSII Arudji, dan Partai Katolik, Murba, IPKI, Perti dan
parkindo.
(2)
Tanggal 17 Agustus 1960 Presiden membubarkan dua partai
yaitu Masyumi dan PSI, dan apabila pernyataan ini tidak juga diacuhkan maka
pembubaran partai akan lebih luas lagi.
(3)
Tanggal 30 Desember 1959 terbentuk Front Nasional yang
kemudian akhirnya membentuk kekuasaan yang sangat besar dan bahkan secara riil
bertindak sebagai parpol.
(4) Dengan
tidak adanya pemilu, maka kebebasan mengeluarkan pendapat pada hakekatnya sudah
tidak ada lagi.
d.
Sistem Politik Indonesia pada Era Orde Baru
Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto
pada awalnya dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan Indonesia yang kacau balau
setelah pemberontakan PKI September 1965. Orde Baru lahir dengan tekad untuk
melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan dan kebobrokan Demokrasi Terpimpin
pada masa Orde Lama.
Pada awalnya Orde Baru berupaya untuk
memperbaiki nasib bangsa dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik dibuatlah
UU No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum, UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Atas dasar UU tersebut Orde Baru mengadakan
pemilihan umum pertama. Pada awalnya rakyat memang merasakan peningkatan
kondisi diberbagai bidang kehidupan, melalui serangkaian program yang
dituangkan dalam GBHN dan Repelita. Setelah mengalami penderitaan sejak
penjajahan, awal kemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama. Namun demikian
lama-kelamaan program-program pemerintah Orde
Baru bukannya diperuntukkan bagi kepentingan penguasa. Ambisi penguasa
Orde Baru mulai merambah keseluruh sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan
Indonesia. Kekuasaan Orde Baru menjadi otoriter, namun seolah-olah dilaksanakan
secara demokratis. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai
dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi
kepentingan sang penguasa. Bahkan Pancasila-pun diperalat demi legitimasi
kekuasaan. Hal itu terbukti dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978,
tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai
media untuk propaganda kekuasaan Orde Baru (Andriani Purwastuti,
2002:45).
Realisasi UUD 1945 praktis lebih
banyak memberikan porsi pada presiden, walaupun sesungguhnya UUD 1945 memang
memberi wewenang yang amat besar pada lembaga kepresidenan, akan tetapi
presiden hanyalah mandataris MPR serta dalam menjalankan pemerintahan diawasi
oleh DPR. Dalam kenyataan di lapangan posisi legislatif berada dibawah
presiden. Seperti tampak dalam UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD, UU Tentang Partai Politik dan Golongan Karya, serta UU Tentang Pemilihan
Umum, posisi presiden terlihat sangat dominan. Dengan paket UU politik tersebut
praktis secara politis kekuasaan legislatif berada dibawah presiden.
Selanjutnya hak asasi rakyat juga sangat dibatasi serta dikekang demi
kekuasaan, sehinggaq amanat pasal 28 UUD 1945 jauh dari kenyataan. Akibat
kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol tersebut akhirnya penguasa Orde Baru
cenderung melakukan penyimpangan hampir di semua sendi kehidupan bernegara.
korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela dan membudaya, pertumbuhan
ekonomi hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan penguasa,
kesenjangan semakin melebar, utang luar negeri menjadi menggunung, akhirnya
badai krisis ekonomi menjalar menjadi krisis multi dimensi. Rakyat yang
dipelopori mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang. Akhirnya
runtuhlah Orde Baru bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila masih
belum sesuai dengan jiwa dan semangat, ciri-ciri umumnya. Hal itu terjadi
karena presiden begitu dominan baik dalam supra struktur maupun dalam infra
stuktur politik. Akibatnya banyak terjadi manipulasi politik dan KKN yang telah
membudaya, sehingga negara Indonesia terjerumus dalam berbagai krisis yang
berkepanjangan.
Gambar Presiden Soeharto
Presiden kedua RI
e. Sistem Politik Indonesia pada Era Reformasi
Penyelenggaraan negara yang menyimpang
dari ideologi Pancasila dan mekanisme UUD 1945 telah mengakibatkan ketidak
seimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Penyelenggaraan negara
semakin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan. Semua itu ditandai
dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang
dan kekuasaan presiden berlebihan yang melahirkan budaya kurupsi, kolusi dan
nepotisme sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek
kehidupan.
Awal keberhasilan gerakan reformasi
ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan
digantikan oleh wakil presiden Prof. Dr. BJ. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan
membawa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata
sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD
1945 agar lebih sesuai dengan tuntutan jaman.
Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde
Baru terjadi selain karena moral penguasanya, juga memang terdapat berbagai
kelemahan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu selain
melakukan reformasi dalam bidang politik untuk tegaknya demokrasi melalui
perubahan perundang-undangan, juga diperlukan amandemen UUD 1945. Sejumlah UU
politik telah diperbarui pada tahun 1999 dan dilanjutkan pada tahun-tahun
berikutnya untuk mengawal jalannya reformasi yakni:
(a)
UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, yang
kemudian diubah lagi menjadi UU No. 31 Tahun 2002.
(b)
UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum,
yang kemudian juga diperbarui dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Selanjutnya juga hadir UU No. 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
(c)
UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, selanjutnya diganti dengan UU No.22 Tahun 2003
tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
(d)
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
dan telah diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2004 yang didalamnya mengatur tentang
pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pelaksanaan Demokrasi Pancasila pada
era reformasi ini, telah banyak memberikan ruang gerak kepada partai politik
maupun lembaga negara (DPR) untuk mengawasi pemerintahan secara kritis, dan
dibenarkan untuk berunjuk rasa, beroposisi maupun optimalisasi hak-hak DPR
seperti hak bertanya, interpelasi, inisiatif dan amandemen.
Gambar
Presiden Habibie
Presiden
ketiga RI
5.
Berpartisipasi untuk Pengembangan
Demokrasi di Indonesia
Menurut Alfian (1992) “Intisari sistem politik demokrasi terletak
pada pengakuan, dan pelaksanaan pengakuan itu, bahwa kekuasaan politik sebenarnya
berada di tangan anggota-anggota masyarakat atau rakyat”. Ini berarti ketika
suatu sistem politik itu masih mencerminkan pengakuan dan pelaksanaan kekuasaan
politik semacam itu, maka sistem politik itu masih layak dianggap sebagai
demokrasi, walaupun di sana-sini masih terlihat berbagai kekurangan dan
kelemahan.
Pengembangan demokrasi di Indonesia dalam
tataran pengakuan sangat kuat, tatapi sangat lemah dalam pelaksanaan. Dalam
pelaksanaan kadar kekuasaan politik pada rakyat masih rendah. Oleh karena itu
yang terpenting dalam pengembangan demokrasi di Indonesia bagaimana
mengembangkan kekuasaan politik pada rakyat semakin kuat, dan pada pihak lain
bagaimana mencegah berkembangnya anti demokrasi (pengurangan atau penghapusan
kekuasaan politik rakyat), serta melakukan pembatasan kekuasaan pemerintah.
Demokrasi di Indonesia memang masih dalam
proses pencarian bentuk. Dengan kata lain di Indonesia sekarang ini yang
terjadi baru pada tahap demokratisasi (proses menuju demokrasi). Tidak
mengherankan apabila dalam pelaksanaan kehidupan politik riil, ada tarik
menarik antara kadar bobot kekuasaan politik rakyat dengan kadar kekuasaan
politik penguasa. Misalnya, di Indonesia pernah berkembang demokrasi liberal,
di mana kadar kekuasaan politik rakyat cenderung menguat. Pada perkembangan
berikutnya, yakni pada waktu bekembangnya demokrasi terpimpin dan Demokrasi
Pancasila, kadar kekuasaan politik rakyat sangat rendah, sebaliknya kadar
kekuasaan politik penguasa sangat kuat.
Dalam pemerintahan Orde Baru yang menyatakan
mengembangkan Demokrasi Pancasila, elit penguasa berperan sebagai pelaku utama
kontrol dan pengawasan terhadap proses politik dalam masyarakat. Hal ini tampak
pada peran birokrasi bail sipil dan militer yang sangat menonjol. Terutama
militer yang bersama-sama dengan kaum teknokrat memiliki pengaruh besar dalam
pengelolaan sosial, ekonomi dan politik baik pada tingkat nasional maupun
lokal. Para pengamat politik Indonesia pada umumnya sepakat bahwa birokrasilah
yang menjadi tulang punggung utama sistem politik Orde Baru sehingga disebut
sistem politik birokratik (bureaucratic politiy) (A.S. Hikam, 1999).
Pengembangan sistem politik birokratik ini, dapat menciptakan pemerintahan yang
stabil dan mampu memelihara integrasi nasional sebagaoi landasan pembangunan
tetapi dengan menekan kekuatan-kekuatan demokrasi. Seperti penerapan kebijakan
perampingan partai politik, depolitisasi masa lapis bawah, pelaksanaan pemilu
dengan sistem proporsional, dihapuskannya pluralisme ideologi dengan menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kita juga dipertontonkan adanya
pelarangan, pembatasan-pembatasan terhadap mereka yang dicap radikal atau
membahayakan kepentingan nasional. Seperti yang diterapkan pada individu maupun
kelompok seperti bekas tokoh partai terlarang (PKI, Masyumi, PSI), mantan
Tapol/Napol, kelompok Islam garis keras, warga negara nonpribumi, khususnya
Cina, dan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai kelompok yang
berbeda/berseberangan dengan kehendak penguasa Orde Baru. Individu maupun
kelompok tersebut di atas, harus selalu diwaspadai karena berbahaya atau
merupakan penyakit bagi stabilitas nasional. Bahkan kalau perlu tidak sekedar
diwaspadai tetapi diberantas. Dalam rangka melakukan kewaspadaan ini, cara yang
dilakukan misalnya dengan memberlakukan litsus, screening, wajib lapor,
KTP bertanda khusus, dan lain-lain. Jika dianggap perlu praktik-praktik seperti
penghilangan atau penculikan serta penyiksaan pun akan dilaksanakan.
Pembangunan yang dilakukan oleh Orde Baru
dibawah kontrol penguasa yang sangat kuat, ternyata memiliki titik lemah. Titik
lemah itu tidak hanya demokrasi menjadi tidak bekembang, tetapi titik lemah itu
juga karena utang luar negeri menjadi andalan utama biaya-biaya pembangunan. Sritua
Arief (A.S. Hikam, 1999) salah seorang pakar ekonomi politik Indonesia
memberikan kritik, bahwa utang luar negeri telah membuat Indonesia mengalami “Fisher
Paradox”, yaitu situasi di mana semakin banyak cicilan utang luar
negerinya. Hal ini disebabkan karena cicilan plus bunga lebih besar dari nilai
uang baru, maka terjadi “net transfer” sumber-sumber keuangan dari
Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Dengan demikian menurut Sritua Arief,
Indonesia sebenarnya terjebak dalam lingkaran ketergantungan kepada pihak
asing.
Dewasa ini pada era reformasi
perkembangan demokrasi sering diistilahkan masih pada tataran prosedural
(demokrasi prosedural). Dikatakan masih pada tataran demokrasi prosedural,
karena prosedur-prosedur dalam proses politik demokrasi memang telah ada dan
dilaksanakan. Misalnya, pemilu sudah dijalankan untuk memilih legislatif
(DPR/DPRD atau DPD) dan pemilu Presiden secara langsung (tidak dipilih lagi
melalui legislatif/MPR) untuk pertama kali dilaksanakan pada pemilu 2004,
tetapi pemilu itu belum dibarengi dengan mental yang demokratis. Misalnya,
dalam pemilu masih terjadi hal-hal sebagai berikut: pemalsuan ijazah oleh
caleg, intimidasi, brutalisasi/penganiayaan, politik uang, manipulasi suara,
masih adanya aparat pemerintah menggiring pemilih untuk memilih partai politik
tertentu (birokrasi tidak netral secara politik).
Begitu pula legislatif sebagai perwakilan
politik (DPR/DPRD) dan perwakilan fungsional (DPD) telah melakukan fungsi
legislatif dan kontrol terhadap eksekutif, tetapi baru bersifat prosedural.
Kita bisa melihat pada perilaku mereka (wakil rakyat) belum benar-benar
memperjuangkan aspirasi-aspirasi rakyat atau konstituennya (para pemilihnya).
Mengapa, hal itu terjadi? Penjelasan atas pertanyaan ini bisa dengan
menggunakan teori model perwakilan. Dikenal 4 model perwakilan dalam suatu
sistem politik, yaitu (1) model wali; (2) model delegasi; (3) model instrumen
partai; (4) model instrumen pemerintah (A.S.Hikam, 1999).
Pertama, yaitu model
wali (pengampu) dari konstituen para wakil memandang dirinya bebas atau terikat
(independensi) secara mutlak dan tidak terkait dengan kepentingan yang
diwakilinya (konstituen). Sebagai wali, mereka dapat melakukan proses
pengambilan keputusan tanpa lebih dahulu mendapat kesepakatan dari yang
diwakili dan karenanya merasa tidak perlu bertanggung jawab atas
tindakan-tindakannya kepada si terwakil. Mereka berkeyakinan bahwa hanya
merekalah yang tahu apa yang terbaik untuk kepentingan publik.
Kedua, model
delegasi. Dalam model ini para wakil adalah instrumen untuk menyampaikan
aspirasi para konstituen yang karena kondisi geografis dan demografis yang
sangat besar tidak memungkinkan melakukan proses artikulasi kepentingan secara
langsung. Untuk menentukan siapa yang menjadi wakil, dilakukan melalui proses
seleksi dan pemilu. Konsekuensinya, sikap dan tindakan para wakil senantiasa
dalam pengawasan rakyat. Posisi para wakil tergantung kepada pemilih, karena
pemilih dapat mencabut kembali pilihannya apabila para wakil kurang mampu atau
menyalahi aturan yang disepakati/janji ketika kampanye pemilu. Namun dalam
perkembangannya, para wakil tidaklah hanya menuruti kemauan secara membabi
buta. Mereka memiliki otonomi dalam menerjemahkan aspirasi dan kepentingan yang
dianggap baik untuk kepentingan seluruh rakyat di dalam dewan perwakilan yang
kemudian akan mereka pertanggungjawabkan kembali. Hal ini penting agar wakil
rakyat tidak terjerumus ke dalam diktator mayoritas.
Ketiga, model
instrumen partai. Dalam model ini para wakil lebih merupakan instrumen partai.
Meskipun mereka mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi sebenarnya lebih
bertanggung jawab kepada partai dan melayani aspirasi partai. Partai memiliki
oronomi yang sangat kuat dalam menggariskan kepentingan-kepentingan apa yang
harus diperjuangkan di lembaga perwakilan. Partai memiliki hak untuk menarik
kembali (recalling) wakil-wakil yang tidak sejalan dengan garis partai.
Para pemilih yang tidak puas, hanya memiliki kesempatan pada masa pemilu untuk
menolak calon-calon wakil yang diajukan partai.
Keempat, model
instrumen pemerintah. Dalam model ini para wakil merupakan kepanjangan tangan
kepentingan pemerintah yang berkuasa. Meskipun secara formal menyatakan dirinya
sebagai wakil rakyat yang memilihnya melalui pemilu, tetapi sebenarnya mereka
hanya sebagai tukang stempel dari pemerintah. Posisi pemilih sangat lemah
bahkan sama sekali tidak dipedulikan (teraliensi) dari proses pembuatan
keputusan/kebijakan publik di dewan perwakilan. Hanya pemerintahlah yang tahu
yang baik atau yang penting bagi rakyat, rakyat hanya sebagai penonton dalam peraturan
politik.
Dengan demikian pengembangan demokrasi di
Indonesia, sampai saat ini masih pada tahap demokratisasi. Bagaimana sikap yang
seharusnya ditampilkan oleh warga negara dalam menghadapi perkembangan
demokratisasi ini? Untuk mewujudkan demokrasi masih perlu kerja keras dengan
senantiasa membuka diri untuk melihat kelemahan-kelemahan selama ini, terutama
pada mentalis penyelenggara negara, politisi maupun warga negara. Mentalis yang
berkembang di Indonesia seperti tampak pada pemikiran, sikap dan perilaku
(budaya) baik pada penguasa, politisi, dan warga negara masih banyak
bertentangan dengan demokrasi. Misalnya: (1) sikap politik konservatif yang
tidak berkehendak menerima perubahan-perubahan ke arah lebih maju; (2) sikap
politik reaksioner, yaitu menentang segala kebijakan yang datang dari luar
kelompoknya meskipun kebijakan tersebut baik; (3) perilaku anarkis, yakni
bertindak bebas tidak mau terikat oleh norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat; (4) sikap saling curiga yang berlebihan sehingga mudah
terprovokasi, yang pada akhirnya menimbulakn konflik sosial yang banyak meminta
korban harta dan jiwa serta mengancam disintegrasi bangsa; (5) ada
kecenderungan dalam masyarakat kita ketika menghadapi berbagai persoalan
termasuk masalah demokrasi mengatasinya cukup dengan berbicara, padahal tanpa
diikuti aksi, maka demokrasi hanya sebatas menjadi wacana; dan (6) seperti yang
dinyatakan Bung Hatta, proklamator negara tercinta, bahwa demokrasi baru akan
terwujud apabila ada penegakkan hukum. Padahal dewasa ini kita rasakan bersama
bahwa penegakkan hukum di negara kita sangat lemah. Demokrasi yang menghendaki
adanya kebebasan, persamaan, HAM, dan perubahan kehidupan bernegara secara
tertib dan damai serta beradab, jaminan itu hanya dapat diwujudkan ketika hukum
ditegakkan. Itulah beberapa pemikiran, sikap, dan perilaku yang tidak menunjang
pengembangan demokrasi.
Pertanyaan selanjutnya yaitu sikap apa
yang dapat menunjang pengembangan demokrasi di Indonesia? Sikap positif warga
negara yang dianggap penting dan dapat menunjang pengembangan demokrasi di
Indonesia diantaranya adalah adanya kepercayaan (trust) dan komitmen
terhadap demokrasi. Kepercayaan terhadap demokrasi dimaksudkan bahwa
dalam diri setiap warga negara ada kepercayaan bahwa dirinya mampu mempengaruhi
sistem politik demokrasi yang ada untuk dapat memenuhi harapan-harapan atau
kepentingan-kepentingannya maupun kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan yang dimaksudkan komitmen bahwa pada diri warga negara
memiliki keterikatan yang kuat bahwa dalam mengatasi berbagai persoalan
terutama dalam kehidupan publik akan diselesaikan sesuai dengan prinsip-prinsip
atau nilai-nilai dan cara-cara demokrasi. Kedua sikap di atas (kepercayaan dan
komitmen), dapat digolongkan pada sikap politik yang rasional dan proporsional.
Sikap politik yang rasional dan proporsional merupakan sikap
positif terhadap pengembangan demokrasi, karena sikap politik ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut (A. Husein, 2003):
1. Mendasarkan pada moralitas dan integritas;
2. Mendasarkan pada kepentingan bangsa dan
negara;
3. Mendasarkan pada kesejahteraan rakyat;
4. Mendasarkan pada etika, kepatutan dan hati
nurani.
Dengan sikap politik rasional dan
proporsional, maka dapat mendorong penegakkan hukum, dan akan dapat mencegah
berkembangnya perilaku anarkis, otoriterisme, sikap politik reaksioner, dan
sikap politik konservatif.
Sebaiknya Anda Tahu
Pengambilan Keputusan dengan Suara Terbanyak (dalam
Demokrasi Pancasila)
Pengambilan
keputusan dengan suara terbanyak dalam demokrasi Pancasila menganut tiga
formula. Formula pertama, persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR
yang hadir dalam hal pengambilan keputusan untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR. Formula kedua, pengambilan
keputusan dengan suara terbanyak 50% + 1 (mayoritas mutlak) dari seluruh jumlah
anggota MPR dalam hal menetapkan atau mengubah UUD 1945.
Formula
ketiga, pengambilan keputusan dengan suara terbanyak di luar pengambilan
keputusan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dan penetapan/pengubahan UUD
1945. Misalnya, dalam pengambilan keputusan menerima/menolak suatu RUU menjadi
UU; menerima/menolak dimasukkannya pasal-pasal tertentu dalam UU.
Gambar Presiden Abdurrahman Wahid
dan Presiden Megawati Soekarno Putri
Presiden keempat dan kelima RI
6.
Berpartisipasi dalam Sistem Politik Demokrasi Pancasila
Bagi setiap warga negara perlu
memberikan penghargaan terhadap sistem politik demokrasi Pancasila.
Berpartisipasi terhadap sistem politik demokrasi Pancasila, merupakan salah
satu perwujudan dari sikap politik yang rasional dan proporsional. Karena sikap
politik ini, tidak akan menimbulkan sikap yang merendahkan sistem politik
demokrasi Pancasila dimungkinkan muncul pada diri warga negara, ketika melihat
bahwa dalam kehidupan politik senyatanya masih jauh dari sikap yang
mencerminkan pelaksanaan sistem pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun karena
sikap yang rasional dan proporsional, maka seorang warga negara juga akan
melihat sisi kelebihan serta menyadari bahwa untuk mewujudkan sistem politik
demokrasi Pancasila memerlukan proses yang panjang. Yang terpenting
demokratisasi terus diupayakan secara terus menerus dan berkesinambungan.
Kelebihan sistem politik demokrasi
Pancasila, adalah merupakan produk para bapak pendiri negara (founding
fathers), terutama dalam memberikan sifat yang melekat pada sistem politik
demokrasi secara umum. Dalam sistem politik demokrasi secara umum, rakyat
diberikan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik. Baik keputusan politik yang berupa kebijakan publik, yaitu program
kegiatan untuk mewujudkan tujuan yang menyangkut kepentingan umum, maupun
keputusan politik yang berupa penentuan pejabat sebagai pelaksana kebijakan
publik. Misalnya, rakyat diberikan kesempatan untuk mempengaruhi pembuatan dan
pelaksanaan daerah dan memilih kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota).
Keputusan politik yang dihasilkan oleh
sistem politik demokrasi Pancasila harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila seperti tercermin dalam ke lima sila Pancasila yaitu
meliputi nilai: religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan
sosial. Kelima sila Pancasila adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dan
tidak dapat terpisahkan antara sila satu dengan lainnya, serta tersusun secara
hirarki piramida adalah merupakan konsep orisinil bangsa Indonesia. Ini berarti
nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila secara terpisah-pisah memang dapat
ditemukan pada bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi sebagai nilai yang merupakan
kesatuan yang utuh dan tersusun secara hirarki piramida adalah merupakan ciri
khas Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Seperti hal ini dinyatakan
oleh Alfian (1992), salah seorang pakar politik terkemuka Indonesia yang
menyatakan keorisinilan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia terletak
pada tiga kenyataan di bawah ini:
1. Bangsa Indonesia sendiri yang memilih sila
dari dalam dirinya;
2. Bangsa Indonesia pula yang memutuskan
urut-urutan kelima sila itu sebagaimana sekarang;
3. Bangsa Indonesia mempersiapkan kelima sila
itu sebagai satu rangkaian kesatuan yang utuh, bukan terpisah-pisah.
Nilai Pancasila sebagai satu kesatuan
yang utuh juga digambarkan oleh Bung Hatta, yang menyatakan bahasa sila pertama
dan sila kedua merupakan funda-mental moral, dan sila ketiga, keempat dan
kelima merupakan fundamental politik, sehingga pelaksanaan kehidupan politik di
Indonesia telah memiliki dasar moral yang kokoh. Dengan demikian seharusnya
praktik-praktik politik yang sejalan dengan sistem politik demokrasi Pancasila adalah
yang religius dan humanis.
Perlunya apresiasi terhadap sistem
politik demokrasi Pancasila ada pada setiap warga negara, karena dalam
kenyataan empirik demokratisasi tampak semakin menguat. Indikasi demokrasi
seperti yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl ahli politik yang mengkaji
secara mendalam mengenai demokrasi bisa kita jumpai di lapangan meskipun masih
perlu disempurnakan. Dahl, memberikan indikasi adanya demokrasi oleh:
1. Ada jaminan bahwa kebijakan publik dibuat
sesuai dengan kepentingan masyarakat.
2. Pemilihan umum yang diselenggarakan secara
berkala, bersifat bebas dan adil;
3. Hak untuk memilih;
4. Hak untuk menduduki jabatan publik;
5. Masyarakat punya kebebasan untuk memperoleh
hak-haknya: berekspresi dan berpendapat;
6. Masyarakat punya akses terhadap sumber
informasi alternatif;
7. Masyarakat bebas membentuk/bergabung dengan
organisasi manapun.
Apabila diperhatikan secara seksama,
meskipun dalam praktik masih banyak kelemahan, tetapi pada setiap periode
perkembangan demokratisasi menunjukkan kemajuan-kemajuan yang memberikan
optimisme. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh:
1. Penghapusan fraksi TNI dan Polri di DPR/MPR;
2. Adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung;
3. Adanya DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang
merupakan perwakilan rakyat sebagai representasi geografis/wilayah provinsi di
parlemen yang akan menjamin semua kepentingan provinsi dalam keputusan
nasional, hukum-hukum, dan Anggaran Belanja Nasional;
4. Berkembangnya sistem multipartai (peserta
Pemilu 1999 diikuti sekitar 48 partai politik, Pemilu 2004 diikuti 24 partai
politik). Hal ini menunjukkan adanya jaminan kebebasan berorganisasi yang
tinggi;
5. Adanya kebebasan pers yang semakin menguat
dengan ditandai penghapusan Departemen Penerangan. Departemen Penerangan selama
ini ditakuti oleh kalangan pers karena memiliki kewenangan untuk melakukan
pembredelan pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah;
6. Partisipasi perempuan dalam politik semakin
meningkat, misalnya dengan adanya ketentuan masing-masing partai politik
peserta pemilu untuk memenuhi quota 30% calon legislatif dari perempuan.
7. Adanya yudicial review oleh MK
(Mahkamah Konstitusi) yang merupakan kewenangan MK untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar dan kewenangan lain seperti memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar. Kewenangan-kewenangan MK tersebut sangat penting untuk mencegah adanya
lembaga negara yang dapat mendominasi lembaga negara yang lain (superbody)
sehingga dapat untuk mengupayakan berkembangnya pengawasan dan penyeimbangan (check
and balance).
8. Berkembangnya lembaga kontrol terhadap
pemerintah dari masyarakat/LSM, seperti: ICW, Kontras, Elsam, Cetro, dan
lain-lain.
Dengan melihat adanya kelembagaan politik
dan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap
jalannya pemerintah sebagaimana digambarkan di atas, hal ini menunjukkan bahwa
demokratisasi telah berkembang dalam kehidupan politik nasional. Oleh karena
itu tidak ada alasan untuk tidak memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan
demokrasi Pancasila. Apresiasi itu dapat dilaksanakan misalnya, dengan
memberikan penguatan terhadap proses demokratisasi dan berpartisipasi untuk
mengatasi kendala yang dapat merusak penguatan demokratisasi. Apresiasi yang
demikian sangat penting agar pengembangan demokrasi Pancasila, tidak mengalami
kemunduran ke arah otoriterisme seperti pada masa sebelum era reformasi.
Gambar
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden
keenam RI dipilih langsung oleh rakyat
Sebaiknya Anda Tahu
Pengambilan Keputusan (dalam Demokrasi Pancasila)
Pengambilan
keputusan dalam demokrasi Pancasila menggunakan cara: (1) Musyawarah mufakat,
dan (2) Suara terbanyak. Baik musyawarah mufakat maupun suara terbanyak,
keduanya merupakan cara pengambilan keputusan untuk mencapai konsensus.
Perbedaan antara keduanya terletak pada bagaimana cara proses untuk mencapai
konsesus. Pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat melalui proses
perubahan pendapat dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (perbedaan
pendapat) untuk menemukan titik temu yang disepakati sebagai dasar pengambilan
keputusan. Sedangkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak, konflik yang
terjadi diselesaikan melalui pemungutan suara terbanyak (voting). Pendapat yang
memperoleh suara terbanyak menjadi pendapat bersama sehingga perbedaan pendapat
dapat diselesaikan.