Materi pembelajaran merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan untuk perencanaan dan penelaah implementasi pembelajaran serta untuk membantu dalam kegiatan belajar mengajar di kelas..
Genosida merupakan perbuatan
yang dilakukan untuk menghancurkanseluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau
keagamaan, seperti:
1)Membunuh
anggota kelompok tersebut.
2)Menimbulkan
luka atau tekanan mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut.
3)Secara
sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang
diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau
sebagian.
4)Memaksakan
tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok
tersebut.
5)Memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
2.Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Kejahatan ini merupakan perbuatan
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan paksa (deportasi),
memenjarakan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan paksa, dan
kejahatan apartheid yang dilakukan sebagai bagian serangan meluas atau
sistematis yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan terhadap penduduk
sipil. Kejahatan ini dapat terjadi selain pada masa damai (untuk
mempertahankan rezim) juga pada masa perang. Contoh: korban pasca jajak
pendapat di Timor Timur, oleh Timor Timur diadukan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan. Korban sipil rakyat Irak akibat pengeboman AS telah terpola secara
sistematis, dapat dimasukkan dalam kejahatan ini.
3. Kejahatan
perang
Kejahatan perang adalah melancarkan
perang yang menyebabkan kerugian bagi orang sipil, kerusakan objek sipil atau
kerusakan meluas, berjangka panjang dan berat terhadap lingkungan. Membunuh
atau melukai secara curang pihak musuh atau perlakuan mempermalukan tawanan
perang, juga masuk dalam kategori kejahatan perang. Ketentuan mengenai
kejahatan perang dapat ditemukan dalam Geneva Convention 1949.
Kejahatan perang agresif atau dikenal
sebagai kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), yaitu
merencanakan, memprakarsai perang atau memulai perang yang melanggar hukum
internasional. Ketentuan tentang kejahatan perang agresif dapat ditemukan dalam
Rome Statute of The Internasional Criminal Court atau dikenal Statuta
Roma 1998.
Invasi AS ke Irak bisa dikategorikan
dalam kejahatan perang agresif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa AS dewasa ini
mengembangkan doktrin Pedoman Rencana Pertahanan (Defence Planning
Guidance/DPG). Doktrin DPG mengharuskan AS mengatur dunia berdasarkan
kepentingannya yang ditentukan syarat-syaratnya oleh AS, baik menyangkut
kepentingan politik, ekonomi, dan militer. DPG kemudian disempurnakan tanggal
22 September 2002 melalui Strategi Keamanan Nasional (National Security
Strategic/NSS). IsiNNS antara lain:
“Kita harus menyerang bukan hanya negara-negara yang menentang, tetapi juga
negara-negara yang dianggap berpotensi teroris”. Doktrin NSS menunjukkan tidak
hanya menduduki lebih dulu (preemtive), tetapi juga preemtion
yang memungkinkan AS secara sepihak kapan saja dan di mana saja dapat
melemahkan negara lain, termasuk melemahkan sekutu-sekutunya.
4. Mendorong
Dilakukannya Peradilan HAM Internasional
Di antara kasus-kasus pelanggaran HAM
internasional sebagian telah diselesaikan melalui pengadilan HAM dan masih
banyak kasus-kasus pelanggaran lain yang belum tersentuh, terutama jika
menyangkut penguasa di negara besar seperti Amerika Serikat. Beberapa contoh
bentuk pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM secara internasional.
a.Pengadilan Kejahatan Internasional Ad. Hoc
Pengadilan
kejahatan internasional Ad. Hoc (Mahkamah Kejahatan Internasional yang khusus
dan terbatas) setelah selesai mengadili kemudian dibubarkan atau dilikuidasi.
Dalam praktik pengadilan kejahatan internasional Ad. Hoc dilakukan dengan dua
cara. Pertama, dibentuk oleh negara-negara berdasarkan perjanjian
internasional. Ini terjadi pasca Perang Dunia II ketika dibentuk Pengadilan
Militer Internasional (International Military Tribunal/IMT) yang
berkedudukan di Nurenberg dan Tokyo. IMT waktu itu bertugas mengadili penjahat
perang Jerman dan Jepang. Kedua, dibentuk lewat Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB). Contohnya: Pengadilan Kejahatan
Internasional untuk Yugoslavia (International Court Tribunal for Yugoslavia/ICTY),
untuk mengadili pelanggaran HAM di Yugoslavia. Kemudian Pengadilan Kejahatan
Internasional untuk Rwanda (International Court Tribunal for Rwanda/ICTR),
untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di Rwanda.
b.Pengadilan Internasional yang Bersifat
Permanen
Pengadilan
permanen yang dimaksud adalah Pengadilan Kejahatan Internasional atau Mahkamah
Pidana Internasional (MPI). Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal of Court/ICC) didirikan berdasarkan perjanjian internasional pada
tanggal 17 Juli 1998, yang dikenal dengan nama Statuta Roma. MPI
berkedudukan di Den Haag Belanda. MPI berbeda dengan Mahkamah Internasional (International
Court of Justice/ICJ). Mahkamah Internasional (MI) menekankan pada negara
sebagai subjek hukumnya, sedangkan MPI menjadikan setiap individu yang diduga
melakukan kejahatan yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang,
dan kejahatan agresi sebagai subjek hukumnya. MPI bersifat permanen dan
berfungsi mewujudkan rasa keadilan universal bagi semua pihak yang menghargai
nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal dan juga diharapkan mampu
menciptakan perdamaian dunia.
Sejak tahun 2002, MPI telah mulai
aktif bekerja. Pimpinan Serbia Slobodan Milosevic diadili lewat lembaga ini.
Namun MPI hanya berlaku bagi negara yang telah meratifikasi. Amerika Serikat
sebagai negara yang mendengung-dengungkan HAM ternyata menolak meratifikasi.
Alasannya sebagai “Polisi Dunia”, Amerika Serikat banyak mengirim pasukan ke
berbagai belahan dunia sehingga ratifikasi bisa membuat pasukan Amerika Serikat
sendiri diseret ke MPI. Dengan demikian dapat dinyatakan hukum internasional
dalam hal kepentingan politik, ekonomi, dan militer Amerika Serikat nol besar.
Indonesia juga belum meratifikasi Statuta Roma.
c.Pengadilan HAM Internasional
Pelanggaran HAM secara internasional
dapat diadili melalui pengadilan HAM nasional. Dalam praktik dikenal ada
beberapa bentuk. Pertama, pengadilan nasional di mana tersangka memiliki
kewarganegaraan. Dalam hal ini dapat dicontohkan Pengadilan HAM Ad. Hoc untuk
kasus dalam pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999.
Pengadilan ini sesungguhnya menguntungkan WNI yang didakwa, karena menurut
doktrin “ne bis in idem”, penuntutan tidak bisa dilakukan lagi apabila
terhadap mereka telah dilakukan penuntutan dan proses peradilan. Sehingga para
pelaku yang didakwa melanggar HAM tersebut, tidak dapat lagi diadili di
pengadilan internasional, jika ada pihak-pihak yang merasa tidak puas atas
keputusan yang dijatuhkan Pengadilan HAM Ad. Hoc dan ingin mengajukannya lagi
ke pengadilan internasional. Kedua, pengadilan nasional di luar
kewarganegaraan tersangka. Pengadilan ini biasanya mempunyai keterkaitan dengan
peristiwa. Contohnya: Kejaksaan Spanyol menuntut Agusto Pinochet mantan
Presiden Chile (1973-1990) diekstradisi ke Spanyol atas tuduhan sebagai dalang
pembunuhan atau penghilangan nyawa 94 orang termasuk warga Chile, Spanyol,
Argentina, Inggris dan Amerika Serikat. Ketiga, menggelar pengadilan
nasional, namun dengan hakim internasional, seperti yang dilakukan di Kosovo.
Pengadilan terhadap pimpinan Khmer Merah di Kamboja atas tuduhan bahwa
pemerintahan teror mereka tahun 1975-1979 telah menyebabkan tewasnya 1,7 juta
saudara sebangsa mereka, akan diselesaikan melalui bentuk yang ketiga ini.
Kamboja dan PBB pada 6 Juni 2003 telah menandatangani sebuah perjanjian untuk
membentuk sebuah mahkamah yang akan mengadili para pemimpin Khmer Merah. Tujuh
negara ditambah Kamboja akan menjadi bagian tim hakim internasional. Ketujuh
negara yang akan mengirimkan hakim yaitu: Jepang, India, Perancis, Rusia,
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Sedangkan biaya pengeluaran diperkirakan
sejumlah 20 juta-60 juta dolar Amerika Serikat dan Jepang menyatakan
kesediaannya untuk menanggung biaya pengeluaran tersebut.
5.
Mendorong Diberikannya Sanksi oleh PBB Terhadap Negara Pelanggar HAM Berat
Piagam HAM Sedunia atau Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
(DUHAM), sebagai deklarasi universal tidak memiliki kekuatan mengikat secara
kuat bagi dunia internasional, tetapi kemudian dikembangkan dalam bentuk covenant
dan protokol menjadi memiliki kekuatan mengikat yang kuat bagi negara penandatangan
maupun yang telah meratifikasinya. DUHAM juga merupakan standar internasional
mengenai HAM yang tampak sangat dihormati oleh anggota PBB. Oleh karena itu,
jika suatu negara tidak menegakkan HAM yang sejalan dengan Piagam HAM
Sedunia/DUHAM, maka akan mendapat sanksi internasional. Sanksi itu tidak hanya
akan dikucilkan dalam pergaulan internasional tetapi juga akan mendapat tekanan
oleh masyarakat internasional. Tekanan internasional bisa berwujud embargo
militer, bantuan keuangan, dan politik. Prediksi ini didasarkan atas kenyataan
yang melanda negara kita dan negara lain, ketika dianggap tidak menegakkan HAM
oleh dunia internasional.
Beberapa contoh sanksi internasional yang
menimpa negara kita, ketika dianggap tidak menegakkan HAM yang sejalan dengan
standar internasional.
Pertama, pada tahun 1999, karena
alasan pelanggaran HAM di Timor Timur, Kongres AS menunda bantuan dan latihan
militer Indonesia, yaitu program IMET (International Military Education and
Training (IMET) dan Extended IMET (EIMET). Diakui kalangan TNI, akibat
kebijakan ini terjadi penurunan kemampuan tempur TNI karena keterbatasan
peralatan, suku cadang dan persenjataan jenis senjata yang mematikan (lethal
weapon). Bersamaan dengan kampanye luas pemberantasan terorisme yang tengah
terjadi dalam masyarakat internasional, kedua program di atas dibuka kembali.
Berbagai industri besar semacam Boeing, United Technology, General Electric,
Coca Cola, dan Nike melalui Dewan Usaha Amerika-ASEAN mendesak Washington agar
segera mencabut embargo penjualan senjata ke Indonesia.
Kedua, ancaman penghentian bantuan
keuangan oleh negara-negara yang tergabung dalam IGGI (International
Government Group for Indonesia), karena Indonesia banyak melakukan
pelanggaran HAM. Sebagai reaksinya, maka Indonesia ketika itu kemudian membuat
CGI.
Ketiga, tekanan politik misalnya
adanya upaya pembentukan pengadilan internasional Ad. Hoc untuk mengadili
pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur. Suatu ketika DK PBB
didesak untuk membentuk Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Timor Timur (International
Court Tribunal for East Timor/ICTET), namun pengadilan tersebut urung
dibentuk karena keberatan Indonesia. Sebagai kompromi, Indonesia membentuk
Pengadilan HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000. Apabila Indonesia tidak mengambil
kompromi ini, maka tanggung jawab itu akan diambil oleh masyarakat
internasional. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem hukum HAM terdapat
ketentuan pertanggungjawaban negara mencakup tiga bentuk yaitu: menghormati (obligation
to respect), melindungi (obligation to protect), pemenuhan (obligation
to fulfil) HAM. Jika Indonesia mengabaikan ketentuan sistem hukum HAM, maka
dapat dinilai telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum internasionaldan masyarakat internasional dapat mengambil
alih. Dalam kaitan ini dapat dicontohkan: AS pernah melakukan pengadilan
nasional terhadap Presiden Panama Jenderal Manuel Noriega setelah ditangkap di
istananya oleh pasukan militer pada tahun 1990, dengan tuduhan terlibat
kejahatan perdagangan kokain.
Sebaiknya
Anda Tahu
Pengadilan
Terhadap Berbagai Pelanggar HAM Berat
Berbagai kasus pelanggaran dan kejahatan
HAM di berbagai negara sebagian telah ditanggapi secara positif dengan upaya
menyelesaikannya melalui Pengadilan HAM Internasional. Beberapa keputusan
pengadilan HAM Internasional (yurisprudensi) di antaranya:
1.Pembantaian Serbia di Bosnia terhadap 100.000
laki-laki, wanita, dan anak-anak dengan cara yang sangat biadab, sementara
sebagian lagi dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka. Kasus pelanggaran HAM
ini mendorong PBB untuk membentuk Pengadilan Kejahatan Internasional Ad. Hoc
untuk Yugoslavia (International Court Tribunal for Yugoslavia/ICTY) pada tahun
1993.
2.Pada awal September 1998, Jean Kambanda
mantan Perdana Menteri Rwanda Afrika Tengah dihukum penjara seumur hidup oleh
Pengadilan Kejahatan Internasional Ad. Hoc (International Court Tribunal for
Rwanda/ICTR)yang didirikan PBB pada
tahun 1994. Kambanda dihukum karena keterlibatannya dalam pembunuhan massal
terhadap suku Tutsi di negara itu.
1.Keputusan Pengadilan Inggris pada tahun
1998 tentang penahanan mantan diktator Chile Jenderal Augusto Pinochet oleh
polisi Inggris sangat bertentangan dengan hukum. Pengadilan juga melarang
ekstradisi Pinochet ke Spanyol, seperti yang diminta Hakim Baltasar Garzon yang
menghendaki Pinochet diadili atas kejahatannya melakukan pembunuhan massal,
terorisme dan penyiksaan yang korbannya di antaranya warga Spanyol. Namun
kemudian pengadilan Inggris mengatakan bahwa Pinochet dapat diadili oleh sebuah
pengadilan internasional, berdasarkan prinsip-prinsip Nurenberg bahwa pejabat-pejabat
negara dapat dituntut untuk kejahatan-kejahatan internasional.
6.
Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis
Umum PBB mengesahkan UDHR, yang memungkinkan HAM bersifat universal,
yang tidak lagi lokal atau merupakan kepentingan suatu negara melainkan hak
asasi untuk seluruh umat manusia di dunia. Sebenarnya UDHR tersebut
disebut sebagai tonggak perjuangan HAM yang kedua setelah Bill of Rights.
UDHR terdiri dari 30 pasal
dengan satu pembukaan (Mukadimah) yang terdiri dari 6 alinea. Dilihat dari
isinya UDHR terdiri dari tiga kategori. Pertama, hal-hal yang
berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang
diatur dalam Pasal 3-21. Kedua, hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak
ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang diatur dalam Pasal
22-27. Ketiga, merupakan pasal-pasal penutup, yaitu Pasal 28-30.
Lebih rinci, substansi yang diatur sebagai
hak-hak sipil dan politik meliputi: hak untuk bebas dari diskriminasi, untuk
memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan, untuk bebas beragama, untuk bebas
berpikir dan berekspresi, untuk bebas berkumpul dan berserikat, untuk bebas
dari penganiayaan dan hukuman kejam, untuk menikmati kesamaan dihadapan hukum,
untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang, untuk memperoleh peradilan
yang adil, untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi, dan untuk
bebas bergerak. Sedangkan hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup:
hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa,
untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapat pekerjaan, untuk menikmati standar
kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk
memperoleh jaminan selama sakit, cacat atau tua.
HAM sebagaimana yang dipahami di
dalam dokumen-dokumen HAM yang muncul pada abad ke-20 seperti UDHR, mempunyai
beberapa ciri yang menonjol.
Pertama, HAM adalah hak, yang
menunjuk pada norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang
penegakannya bersifat wajib.
Kedua, hak-hak ini dianggap
bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah
manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik
seperti ras, jenis kelamin, agama kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak
relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM,
ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia.
Salah satu ciri HAM yang berlaku sekarang adalah HAM itu merupakan hak
internasional.
Ketiga, HAM dianggap ada dengan
sendirinya, tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam system
adat atau system hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang
belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankanmenurut hukum, namun hak
itu eksis dan sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada
penerapan hukumnya.
Keempat, HAM dipandang sebagai
norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa
perkecualian, HAM cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk
diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan,
dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Kelima,
hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya
kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap
tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya.
Pemerintah dan orang-orang yang berada dimanapun diwajibkan untuk tidak
melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus
memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna
melindungi dan menegakkan hak-hak orang lain.
7. Pasal-Pasal HAM dalam UDHR dan Konvensi
Internasional
(1). Hak atas
kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
Universal Declaration of Human Rights (UDHR), pasal 19, Setiap
orang berhak kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini
termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan,
dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan
pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dan tidak memandang batas-batas.
Covenant on Civil and Political Rights
(CCPR), pasal 19, (1) Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat
tanpa mengalami gangguan; (2) Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat,
dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
segala macam penerangan dan gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-pembatasan,
baik secara lisan, maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau
melalui media lain menurut pilihannya.
(2). Hakatas kedudukan yang sama dalam hukum
UDHR, pasal 7: Sekalianorang adalah sama terhadap UU dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada perbedaan.
CCPR, pasal 26: Semua orang adalah sama
terhadap hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Dalam hubungan ini, hukum melarang setiap diskriminasi serta menjamin semua
orang akan perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar
apa pun seperti ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lain, bangsa asal atau kedudukan sosial-asal, milik,kelahiran atau
kedudukan lainnya.
(3). Hak atas
kebebasan berkumpul
UDHR, pasal 20: (1) Setiap orang
mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat; (2) tiada seorang jua pun
dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.
CCPR,
pasal 21: Hak berkumpul secara bebas diakui. Tiada satu pembatasan pun
dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang ditentukan oleh
hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis, demi kepentingan
keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap
kesehatan dan moral umum atau perlindungan terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain.
(4).Hak atas kebebasan beragama
UDHR, pasal 18, Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama; dalam hal ini termasuk
kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama
atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di
tempat umum maupun yang tersendiri.
CCPR, pasal 18, (1) Setiap orang
berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya, serta
kebebasanuntuk baik secara pribadi atau
pun bersama anggota masyarakat lingkungannya serta secara terbuka ataupun
tertutup, menyatakan agama atau kepercayaannya melalui ibadah, ketaatan,
tindakan dan ajaran. (2) Tak seorangpun dapat dikenakan paksaan sehingga
mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau
kepercayaan pilihannya. (3) Kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaannya hanya dapat dikenakan pembatasan menurut ketentuan ketentuan
hukum dan yang perlu untuk menjaga keselamatan umum, ketertiban, kesehatan atau
moral dan hak-hak dasar serta kebebasan orang lain. (4) Negara-negara peserta
dalam Perjanjian ini mengikat diri untuk menghormati kebebasan orang tua dan di
mana berlaku, wali hukum, untuk menjamin pendidikan agama dan moral anaknya
menurut keyakinannya masing-msing.
(5). Hak atas
penghidupan yang layak
UDHR,
pasal 25: (1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin
kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal
makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha
sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami
pengangguran, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah lain-lain
karena keadaan yang di luar kekuasaannya. (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat
perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam
maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.
Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (CESCR), pasal 11: (1)Negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui setiap orang atas
tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk sandang,
pangan, dan perumahan yang layak, dan perbaikan secara terus menerus dari
lingkungan hidupnya. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang
wajar untuk menjamin terlaksananya hak tersebut, agar diakui kepentingan hakiki
dari kerjasama internasional yang didasarkan atas persetujuan yang bebas.
(6).Hakatas kebebasan berserikat
UDHR, pasal 23, (4): Setiap orang
berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja untuk melindungi
kepentingannya.
CESCR, pasal 8: (1) Negara-negara
peserta perjanjian ini mengikat diri untuk menjamin; (a) hak setiap oang untuk
membentuk serikat sekerja dan menjadi anggota serikat sekerja pilihannya,
sesuai dengan peraturan organisasi yang bersangkutan, guna meningkatkan serta
melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dan sialnya. Tiada suatu pembatasan
pundapat dikenakan terhadap pelaksanaan
hak ini, kecuali yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam
masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketetiban umum
atau untuk melindungi hak-hak serta kebebasan –kebebasan orang lain. (b) Hak bagi
serikat sekerja untuk mendirikan federasi atau konfederasi nasional serta hak
bagi yang tersebut belakangan untuk membentuk atau menjadi anggota organisasi
serikat sekerja internasional. (c) Hak bagi serikat sekerja untuk bertindak
secara bebas dan hanya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan yang
diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau
ketertiban umum atau untuk melindungi hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang
lain. (d) Hak untuk melancarkan pemogokan, asalkan dijalankan menurut
ketentuan-ketntuan hukum negara yang bersangkutan.
CCPR, pasal 22: (1) Setiap orang
berhak atas untuk berserikat, termasuk hak untuk membentuk dan ikut serta dalam
serikat-serikat sekerja guna melindungi kepentingan-kepentingannya.
(7). Hak atas pengajaran
UDHR, pasal 26: (1) Setiap orang
berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya
dalam tingkat sekolah dasar. Pengajaran sekolah rendah harus
diwajibkan.Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan
pelajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang,
berdasarkan kecerdasan. (2) Pengajaran harus ditujukan kearah perkembangan
pribadi yang seluas-luasnya serta untuk memperkokoh rasa penghargaanterhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.
Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima serta
rasa saling persahabatan antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau
penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam memelihara
perdamaian. (3) Ibu-Bapak mempunyai hak utama untuk memilih macam pengajaran
yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
CESCR, pasal 13: (1) Negara-negara
perserta dalam perjanjian ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka
sepakat bahwa pendidikan akan mengarah pada pengembangan penuh dari kepribadian
orangserta kesadaran akan harga
dirinya, serta memperkuat rasa hormat terhadap hak-hak manusia serta
kebebasan-kebebasan dasar. (2) Negara-negara peserta dalam perjanjian ini
mengakui bahwa dalam usaha melaksanakan hak ini secara penuh: (a) Pendidikan
dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua orang. (b) Pendidikan menengah dalam
segala bentuknya termasuk pendidikan teknik dan kejuruan menengah, akan
diselenggarakan dan terbuka bagi semua melalui cara-cara yang layak, serta
khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma serta bertahap. (c) Pendidikan
tinggi akan diusahakan terbuka bagi semua berdasarkan kesanggupan, melalui
cara-cara yang layak, serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma
secara bertahap. (d) Pendidikan masyarakat dianjurkan atau ditingkatkan sejauh
mungkin bagi mereka yang belum pernah atau belum menyelesaikan pendidikan dasar
secara penuh. (e) Pengembangan sistem sekolah pada setiap tingkat digiatkan
secara kuat, sistem beasiswa yang layak diadakan dan syarat-syaat materiil dari
staf pengajar ditingkatkan secara terus menerus.
e. Konvensi tentang Hak-hak Anak
Majelis Umum PBB dalam sidangnya yang ke-44 pada
bulan Desember 1989 telah berhasil menyepakati sebuah resolusi, yaitu Resolusi
PBB No. 44/25 tanggal 5 Desember 1989 tentang Convention on the Rights of
the Child. Tentang pengertian anak, konvensi menekankan pada faktor umur,
yakni setiap orang yang masih berumur di bawah 18 tahun. Kecuali jika berdasarkan
hukum yang berlaku bagi anak menentukan batas umur yang lebih rendah dari 18
tahun. Situasi dan kondisi anak-anak di berbagai belahan bumi yang digambarkan
oleh resolusi tersebut sangat memprihatinkan, seperti: karena kondisi sosial
yang di bawah standar, kelaparan, bencana alam, eksploitasi, konflik
bersenjata, buta huruf, dan lain sebagainya yang mengakibatkan anak-anak tidak
hidup dan berkembang dengan layak. Konvensi ini sebenarnya merupakan lanjutan
atau salah satu mata rantai dari usaha-usaha masyarakat internasional yang
telah dilakukan jauh sebelumnya. Mulai dari Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Anak
tahun 1959 (Declaration on the Rights of the Child of 1959) dan
Deklarasi PBB tentang Tahun Anak-Anak Internasional
(Declaration on the International Year of the Child of 1979). Bahkan jauh
sebelumnya, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) juga telah menaruh perhatian yang serius
tentang masalah anak-anak, yang terbukti dengan dikeluarkannya Deklarasi Jenewa
1924 (Geneve Declaration of 1924) tentang pembentukan Uni Internasional
Dana dan Keselamatan Anak-Anak (Save the Children Fund International Union).
Demikian pula PBB secara khusus memiliki salah satu organ khusus yang berkenaan
dengan anak-anak, yaitu UNICEF (United Nations Children's Fund/Dana PBB
untuk Anak-Anak).
f. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman yang Kejam
Ketentuan pokok konvensi ini mengatur tentang pelarangan penyiksaan baik
fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan atau atas hasutan
dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang
bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara Republik Indonesia yang telah
meratifikasi wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum,
dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak
pidana) di dalam wilayah yuridiksinya. Misalnya, langkah yang dilakukan dengan
memperbaiki cara introgasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan
pejabat publik lain yang bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dirampas
kemerdekaannya.
8.
Pelanggaran HAM di Berbagai Negara
Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional dan telah
dibentuk lembaga untuk penegakannya, tetapi hal itu belum menjamin bahwa
hak-hak asasi manusia telah dilaksanakan dengan baik dalam kenyataan kehidupan
sehari-hari.
Dalam
kenyataannya seringkita jumpai
pelanggaran hak-hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun di belahan dunia
lain. Pelanggaran itu dilakukan oleh negara/pemerintah maupun oleh masyarakat.
Richard Falk, salah seorang pemerhati HAM, mengembangkan suatu standar guna
mengukur derajat keseriusan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Hasilnya adalah
disusunnya kategori-kategori pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dianggap
kejam, yaitu:
a.
Pembunuhan besar-besaran (genocide).
b.
Rasialisme resmi.
c.
Terorisme resmi berskala besar.
d.
Pemerintahan totaliter.
e.
Penolakan secara sadar untuk memenuhi
kebutuhan - kebutuhan dasar manusia.
f.
Perusakan kualitas lingkungan (esocide).
g.
Kejahatan-kejahatan perang.
Akhir-akhir ini di dunia internasional maupun di Indonesia dihadapkan
banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam wujud teror. Leiden dan Schmit,
mengartikan teror sebagai tindakan yang berasal dari suatu kekecewaan atau
keputusasaan, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman tak berkemanusiaan dan
tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan barang-barang yang dilakukan
dengan cara-cara melanggar hukum. Teror dapat dalam bentuk pembunuhan,
penculikan, sabotase, subversif, penyebaran desas-desus, pelanggaran peraturan
hukum, main hakim sendiri, pembajakan, dan penyanderaan. Teror dapat dilakukan
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat (oposan).
Teror
merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang kejam (berat) karena
menimbulkan ketakutan, sehingga rasa aman sebagai hak asasi setiap orang tidak
lagi dapat dirasakan. Dalam kondisi ketakutan, seseorang/masyarakat sulit untuk
melakukan hak atau kebebasan yang lain, sehingga akan menimbulkan kesulitan
dalam upaya mengembangkan kehidupan yang lebih maju dan bermartabat
B.Sengketa Internasional dan
Penyelesaiannya Melalui Mahkamah Internasional 1. Timbulnya Sengketa Internasional
Walaupun hubungan antar negara
telah diatur dalam hukum internasional, pada kenyataannya masih sering terjadi
sengketa antar negara. Persengketaan tersebut bisa jadi karena kesalahpahaman
tentang suatu hal, atau salah satu pihak secara sengaja melanggar hak negara
lain.Berbagai pelanggaran terhadap hukum dan perjanjian internasional dapat
menyebabkan timbulnya sengketa internasional. Berikut ini beberapa factor
penyebab sengketa:
a. Masalah
Batas Wilayah
Kasus ini dapat kita lihat misalnya
pada ketidakjelasan batas laut territorial antara Indonesia dengan Malaysia
tentang pulau Sipadan dan Ligitan di dekat Kalimantan. Sengketa tersebut
diserahkan ke Mahkamah Internasional, hingga akhirnya pada tahun 2003
dimenangkan oleh Malaysia. Demikain juga sengketa masalah perbatasn di Khasmir
yang hingga kini masih diperebutkan oleh India dan Pakistan. Sengketa kepulauan
Spratly yang terletah di laut Cina Selatan yang diperebutkan oleh Filipina,
Malaysia, Thailand dan Cina yang hingga kini belum selesai.
Sebaiknya
Anda Tahu
Wilayah Nasional Negara Kesatuan
Republik Indonesia
1.Pada zaman Hindia Belanda dan jepang. Dasar :Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan
Maritim no 442/1939 (Territoriale Zee en Maritiem Kringen Ordonantie no. 44
2/1939). Ukuran 3 mil dari garis pantai pada saat pasang surut (low water). Luas
Wilayah + 2 juta km2.
2.Setelah Proklamasi s/d 13 Desember
1957. Berdasar Ketentuan Peralihan UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950, tetap
berlaku Ordonansi no 442/1939.
3. Deklarasi
Pemerintah R.I. tanggal 13 Desember 1957 (Deklarasi Juanda)
Dasar:Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957
PEPERPU no 4/1960 tentang Perairan Indonesia
Ukuran:12 mil dari garis pangkal (point to point
theory)
Luas Wilayah:bertambah + 3,9 juta km2,
menjadi 5,9 juta km2
4. Deklarasi Pemerintah R.I. tanggal 17
Februari 1969 (Landas Kontingen)
Dasar:Deklarasi Pemerintah RI tanggal 17 Februari
1969
UU no 1/1973 tentang Landas Kontingen
Luas Wilayah :Bertambah + 0,8 juta km2,
menjadi + 6,7 juta km2
5.Pengumuman
Pemerintah R.I. tahun 1980 (Zona Ekonomi Eksklusif)
Dasar :Pengumuman Pemerintah tentang Zone Ekonomi Eksklusif
UU no 5/1983
tentang Zone Ekonomi Ekslusif (Pembenahan Kekayaan Alam dan Potensi Alam)
Luas Wilayah
:Bertambah + 2,5 juta km2,
menjadi + 9,2 juta km2
Gambar peta Perairan Ambalat
wilayah ini tengah menjadi sengketa
antara Indonesia dan Malaysia.
b. Masalah
Campur Tangan Negara lain
Setelah runtuhnya Uni Soviet,
menjadikan Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan dunia yang paling kuat dan
dominan.Selanjutnya Amerika Serikat sering bertindak sebagai polisi dunia. Pada
hal Amerika Serikat sering menggunakan standar ganda dalam kebijakannya.
Sebagai contoh dalam konflik Israel-Palestina, AS terlihat terlalu memihak
Israel. Demikian juga tindakan AS secara sepihak untuk menyerbu afganistan dan
Irak dengan alasan memberantas terorisme, mengenyahkan senjata pemusnah massal,
dan menegakkan demokrasi. Namun tindakan tersebut justru mengakibatkan rakyat
di kedua negara tersebut terjebak dalam perang yang berkepanjangan.
PBB sebenarnya memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa internasional. Namun peran PBBdalam menyelesaikan berbagai konflik
internasional masih jauh dari memuaskan. Semua tahu PBB tidak independen, PBB
masih sangat tergantung kepada beberapa negara besar. Oleh karena itu tidak
mampu berbuat banyak bila anggota pemegang hak veto yang melakukan pelanggaran.
c. Masalah
Politik, ekonomi dan Sosial Budaya
1).
Hegemoni Amerika serikat di Timur Tengah dan pojok-pojok dunia yang lain
2). Masalah
kepemilikan reaktor nuklir di beberapa negara
3). Masalah
persaingan ekonomi, industri dan perdagangan antar negara
4). Masalah
lingkungan hidup
5). Masalah
terorisme internasional
6). Masalah
penyakit menular seperti AIDS, SARS, dan Flu Burung
7). Masalah
hak asasi manusia.
Gambar invasi Amerika Serikat ke Irak
serangan negara adi daya terhadap
negara berdaulat.
2.
Penyelesaian Sengketa Internasional
Cara-cara penyelesaian sengketan internasional banyak cara
yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketan internasional, yang jika
dikelompokkan ada dua kelompok besar, yaitu penyelesaian secara damai dan
penyelesaian dengan jalan kekerasan. Penyelesaian secara damai dapat ditempuh
secara politik (misalnya perundingan, perantara, jasa-jasa baik, lewat campur
tangan PBB), dan dapat ditempuh secara hukum, yaitu lewat Mahkamah Arbitarsi
atau lewat Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional. Sedangkan
penyelesaian dengan jalan kekerasan misalnya ditempuh jalan perang.
3. Peranan Mahkamah Internasional dalam
Menyelesaikan Sengketa Internasional
Mahkamah Internasional merupakan salah
satu organ pokok PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Selain bersidang
ditempat kedudukannya, Mahkamah dapat
bersidang ditempat lain manakala dipandang perlu. Masa persidangan Mahkamah
sepanjang tahun, kecuali waktu-waktu libur Mahkamah.Sidang lengkap pada prinsipnya dihadiri oleh
seluruh anggota, yaitu 15 orang, tetapi kuorum 9 anggota sudah cukup untuk
mengadili suatu perkara. Biasanya mahkamah bersidang dengan 11 anggota, tidak
termasuk hakim-hakim ad hoc. Yang dimaksud dengan hakim ad hoc di sini
adalah hakim-hakim sementara yang hanya ikut bersidang untuk suatu perkara
tersebut. Tugasnya berakhir bersama dengan berakhirnya perkara yang
ditanganinya.
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah dipilih
untuk masa jabatan tiga tahun, dan dapat dipilih kembali. Mahkamah juga
mengangkat Panitera dan pengawai-pegawai lain yang dianggap perlu.
Sebaiknya
Anda tahu
Kasus
Sipadan dan Ligitan (Pernyataan Pers Menlu. Hassan Wirayuda)
Pada tanggal 17 Desember 2002
Mahkamah Internasional di Den Haag, telah mengeluarkan keputusan tentang kasus
sengketa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia. Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki
kedaulatan atas Pulau sipadan dan Pulau ligitan berdasarkan pertimbangan
“effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan
administrative secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpul telur
penyu sejak 1930-an, dan operasi mercusuar sejak awal 1960-an. Sementara itu
kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak
menjadi faktor pertimbangan. Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang
bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari
kedua negara di Kalimantan. Garis parallel 4 derajat 10’ Lintang Utara
ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau
Sebatik sesuai ketentuan hokum laut internasional pada waktu itu yang
menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Mahkamah juga menolak argumentasi
Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas dua pulau tersebut berdasarkan
“chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Hampir tidak dapat dielakkan adanya
rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat
pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti
yang kita harapkan bersama. Namun kita berkewajiban untuk menghormati
Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan
Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau sipadan dan Pulau Ligitan kepada
Mahkamah internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh
karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional
tersebut sebagai final dan mengikat. Pemerintah Indonesia percaya bahwa
keseluruhan proses peradilan penyelesaian sengketa melalui Mahkamah
Internasional ini telah berlangsung secara adil, transparan, bertanggungjawab
dan berwibawa.
Suatu masalah yang secara politis
sangat sensitif, karena menyangkut klaim kepemilikan dan hak berdaulat atas dua
pulau telah mampu diselesaikan secara damai atas pilihan bersama kedua pihak
itu sendiri dan bukan suatu pihak menggugat yang lain. Hendaknya kita tidak
mengecilkan arti dari proses penyelesaian damai ini. Dengan demikian, tidak
hanya kemungkinan suatu konflik bersenjata dan korban yang diakibatkannya telah
dapat dihindarkan, melainkan juga suatu investasi yang sangat berharga bagi
pengembangan kawasan yang damai dan berkemakmuran. Menyelesaikan sengketa
secara damai, sekali untuk selamanya, adalah warisan terbaik yang dapat kita
turunkan bagi generasi ini dan berikutnya.
Pada kesempatan ini atas nama
Pemerintah, saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua
anggota Satuan Tugas Pemerintah dan Tim Hukum Internasional atas sumbangan
pikiran dan ntenaganya dalam upaya Pemerintah melakukan yang terbaik untuk
menyelesaikan sengketa Pulau sipadan dan Pulau ligitan. Penghargaan dan terima
kasih juga disampaikan kepada seluruh media massa, elektronik dan cetak yang
telah mengkomunikasikan keseluruhan proses penanganan ini secara obyektif,
khususnya fakta-fakta yang benar, sehingga terdapat pemahaman yang baik atas
perkara ini, dan karena itu kami harapkan penerimaan yang baik atas keputusan
ini oleh seluruh rakyat Indonesia.
a. Wewenang
Mahkamah Internasional
Mahkamah internasional adalah organ hukum utama Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa atau perkara-perkara
internasional. Peranan mahkamah Internasional antara lain:
a.Menyelesaikan sengketa hukum internasional.
b.Memberikan saran dan pendapat kepada Dewan Keamanan dan
Majelis Umum PBB.
c.Hanya menerima perkara yang diajukan oleh negara (bukan
individu) yang menjadi anggota PBB dan peserta Piagam Mahkamah Internasional
yang bersifat fakultatif.
d.Bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional untuk
menyelesaikan persengketaan.
Wewenang Mahkamah diatur dalam Bab II
statuta Mahkamah Internasional, dengan ruang lingkup masalah-masalah mengenai
sengketa. Untuk mempelajari wewenang ini harus dibedakan antara wewenanguntuk menentukan siapa-siapa yang dapat
mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional (wewenang retione personae)
dan wewenang menentukan jenis sengketa apa yang dapat diajukan (wewenang
ratione materiae).
Wewenang Ratione Personae
Wewenang Mahkamah Internasional yang
menyatakan “hanya negara-negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara
di muka Mahkamah Internasional.”
Ini berarti bahwa subjek hukum dalam
Mahkamah Internasional adalah negara. Pada dasarnya Mahkamah Internasional
hanya terbuka bagi negara-negara anggota dari Statuta, terutama semua negara
anggota PBB, yang secara otomatis menjadi pihak pada Statuta.
Sementara itu, menurut pasal 93 ayat 2
Piagam PBB, negara bukan anggota PBB dapat menjadi pihak pada Statuta Mahkamah
Internasional, dengan syarat-syarat yang akan ditentukan untuk tiap-tiap
permohonan oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan.
Wewenang Ratione Materiae
Mengenai wewenang ini pasal 36 ayat 1
Statuta Mahkamah Internasional menyatakan bahwa “wewenang Mahkamah Intenasional
meliputi semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa kepadanya
dari semua pihak, terutama yang terdapat dalam Piagam PBB atau dalam perjanjian-perjanjian
dan konvensi-konvensi yang berlaku. Pasal ini tidak membedakan antara sengketa
hukum dengan sengketa politik yang dapat diajukan ke depan Mahkamah, akan
tetapi dalam praktinya Mahkamah selalu menolak memeriksa perkara-perkara yang
tidak bersifat hukum.
Wewenang Mahkamah pada prinsipnya
bersifat fakultatif, artinya bahwa bila terjadi suatu sengketa antara dua
negara, campur tangan Mahkamah Inter-nasional baru dapat terjadi jika
negara-negara yang bersengketa dengan persetujuan bersama membawa perkara
mereka ke Mahkamah Internasional. Tanpa adanya persetujuan antara pihak-pihak
yang bersengketa, maka Mahkamah Internasional tidak berwenang untuk memeriksa
perkara tersebut.
Kompromi
Terkait dengan wewenang fakultatif,
sengketa diajukan ke Mahkamah melalui suatu kompromi, artinya kesepakatan
negara-negara yang bersengketa dituangkan dalam suatu kompromi. Kompromi yang
dimaksudkan di sini adalah kompromi yang hanya berisikan persetujuan
pihak-pihak yang bersengketa untuk mengajukan perkara mereka ke Mahkamah
Internasional, dan penentuan hal yang dipersengketakan dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke Mahkamah Internasional. Sebagai contoh
kompromi ini adalah persetujuan khusus (special agreement) antara
Indonesiadengan Malaysia dalam sengketa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang merupakan kompromi antara Indonesia dan
Malaysia untuk mengajukan sengketan ke Mahkamah yang telah disampaikan ke
Panitera Mahkamah pada tanggal 2 November 1998.
Wewenang Wajib
Wewenang wajib dari Mahkamah ini hanya dapat
terjadi jika negara-negara sebelumnya dalam suatu persetujuan menerima wewenang
tersebut. Wewenang wajib berdasarkan ketentuan Konvensi Wewenang wajib ini
dapat diterima dalam bentuk klausula khusus yang terdapat dalam suatu
perjanjian yang terdapat dalam perjanjian itu sendiri. Klausula ini bertujuan
menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dimasa yang akan datang mengenai
pelaksanaan dan interpretasi perjanjian tersebut di muka Mahkamah
Internasional. Sebagai contoh dari klausula khusus ini adalah apa yang tertuang
di dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik pada Protokol Opsional
mengenai Penyelesaian Memaksa atas Perselisihan, pasal 1 yang berbunyi:
Perselisihan
yang timbul dari penafsiran atau penetapan Konvensi akandiletakkan di dalam yurisdiksi memaksa dari
Mahkamah Internasional dan sesuai dengan ini dapat dibawa ke depan Mahkamah
dengan suatu permohonan yang dibuat oleh setiap pihak pada perselisihan itu
yang merupakan pihak pada Protokol ini.
Statuta Mahkamah Internasional pasal 36
ayat 2 mengatur tentang penerimaan negara-negara yang menjadi pihak dalam
Statuta ini atas wewenang wajib Mahkamah Internasional. Adapun bunyi lengkap
pasal 36 ayat 2 ini sebagai berikut:
Negara-negara
pihak Statuta, dapat setiap saat menyatakan untuk menerima wewenang wajib
Mahkamah Internasional dan tanpa persetujuan khusus dalam hubungannya dengan
negara lain yang menerima kewajiban yang sama, dalam semua sengketa hukum
mengenai:
(1) Penafsiran suatu perjanjian
(2) Setiap persoalan hukum internasional
(3) Adanya suatu fakta yang bila tersebut akan
merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
(4) Jenis atau besarnya ganti rugi yang harus
dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu kewajiban internasional.
Klausula inilah yang dinamakan klausula
optimal. Pernyataan negara yang berisikan penerimaan klausula inidapatdibuat tanpa syarat atau dengan syarat persetujuan timbal balik oleh
negara-negara lain atau untuk kurun waktutertentu. Sekretariat Jenderal PBB dan salinannya disampaikan kepada
negara-negara pihak dalam Statuta dan kepada Panitera Mahkamah Internasional.
Klausula ini hanya akan berlaku bagi negara-negara yang telah menerima hal yang
sama.
Dalam penerimaan klausula optional ini,
suatu negara yang menjadi pihak dalam Statuta dapat mengajukan persyaratan,
misalnya persyaratan dengan pembatasan waktu, persyaratan, misalnya persyaratan
denganpembatasan waktu, persyaratan
tidak dapat diajukannya sengketa ke depan Mahkamah mengenai sengketa-sengketa
yang berada di bawah wewenang nasional.
b.Advisory Opinion
Di samping wewenang seperti yang telah
disebutkan di muka, menurut ketentuan pasal 65 Statuta, Mahkamah Internasional
berwenang memberi pertimbangan (advisory opinion) atas semua persoalan
hukum atas permintaan badan-badan internasional sesuai dengan Piagam PBB.
Gambar
Suasana sidang di Mahkamah Internasional Den Haag
di
sini kasus Pulau Sipadan dan Ligitan
pernah
disidangkan.
4. Keputusan
Mahkamah Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional
Sebaiknya
Anda Tahu
Keputusan
Mahkamah Internasional
Keputusan Mahkamah Internasional
merupakan keputusan organ hukum tertinggi di dunia, penolakan terhadap
keputusan lembaga tersebut oleh suatu negara akan merusak citranya dalam
pergaulan antar bangsa, apalagi sebelumnya negara tersebut telah menerima
wewenang wajib mahkamah. Keputusan Hakim Mahkamah Internasional sesuai dengan
pasal 38 ayat 1, Piagam PBB harus berpedoman pada:
a.Perjanjian-perjanjian Internasional.
b.Kebiasaan-kebiasaan Internasional.
c.Asas-asas
hukum umum yang diakui negara-negara beradab.
d.Yurisprudensi.
e.Doktrin
hukum internasional.
Dalam menyelesaikan sengketa
internasional, keputusan Mahkamah diambil dengan suara mayoritas dari
hakim-hakim yang hadir. Jika suara sama, maka suara Ketua atau Wakil Ketua yang
menentukan. Keputusan Mahkamah Internasional dalam setiap penyelesaian sengketa
internasional terdiriatas tiga bagian.
Bagian
pertama berisikan:
a. Komposisi Mahkamah
b. Informasi mengenai pihak-pihak yang
bersengketa serta wakil-wakilnya.
c. Analisa mengenai fakta-fakta
d. Argumentasi hukum pihak-pihak yang
bersengketa.
Bagian kedua:
Bagian ini
berisikan penjelasan mengenai motivasi Mahkamah Internasional.
Pemberian motivasi keputusan mahkamah
internasional merupakan suatu keharusan karena penyelesaian yuridisional ini
sering merupakan salah satu unsur dari penyelesaian yang lebih luas dari
sengketa dan karena itu perludijaga
sensibilitas pihak-pihak yang bersengketa.
Bagian ketiga
berisi dispositif.
Dispositif
ini berikan keputusan Mahkamah Internasional yang mengikat negara-negara yang
bersengketa. Di sini disebutkan jumlah suara yang diperoleh melalui keputusan
tersebut.
5. Prinsip
Hidup Bedampingan Secara Damai Berdasarkan Persamaan Derajat
Sebaiknya
Anda Tahu
Prinsip
Hidup Berdampingan
Dalam
mengupayakan prinsip hidup berdampingan secara damai ada tiga hal utama yang
harus diperhatikan setiap bangsa di dunia:
a.Sikap saling menghormati kadaulatan.
b.Tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
c.Mengembangkankerjasama
yang saling menguntungkan.
Indonesia cinta damai, tetapi lebih
cinta kemerdekaan. Ungkapan di atas sangat populer di Indonesia pada masa
Pemerintahan Bung Karno.
Prinsip di atas menandakan bahwa dalam
pergaulan internasional, Indonesia akan menerapkan prinsip hidup berdampingan
secara damai dengan negara-negara lain, namun jika kemerdekaan bangsa tercantum
makakemerdekaan itu akan dipertahankan
hingga titik darah penghabisan.
Prinsip hidup berdampingan secara damai
ini bermakna juga bahwa jika terjadi sengketa antara negara-negara, hendaknya
penyelesaiannya dilakukan secara damai.
Prinsip Penyelesaian sengketa
internasional secara damai ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum
internasional yang berlaku secara umum.
Prinsip ini diatur di dalam dua buah
deklarasi, yaitu Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama
antarnegara tanggal 24 Oktober 1970 dan Deklarasi Manila tanggal 15 Oktober
1982 mengenai penyelesaian sengketa internasional secara damai. Prinsip-prinsip
yang diatur di dalam deklarasi tersebut adalah sebagai berikut:
a.Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan
kekerasanyang bersifat mengancam
integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan
cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB.
b.Prinsip nonintervensi dalam urusan dalam
negeri dan luar negeri suatu negara.
c.Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib
sendiri bagi setiap bangsa.
d.Prinsip persamaan kedaulatan negara.
e.Prinsip hukum internasional mengenai
kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara
f.Prinsip itikad baik dalam hubungan
internasional.
g.Prinsip keadilan dan hukum internasional.
Gambar
gedung PBB di New York
dalam
Piagam PBB dicantumkan
semua
anggota PBB hidup berdampingan.
6. Prosedur
Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mahkamah Internasional
Mengenai prosedur atau tata cara
kegiatan Mahkamah Internasional secara khusus diatur di dalam Statuta, yaitu
pada bab III. Sementara itu, untuk melengkapi ketentuan yang diatur di dalam
bab III, pasal 30 Statuta Mahkamah Internasional memberi wewenang kepada
Mahkamah Internasional untuk membuat aturan-aturan tentang tata tertib.
Aturan-aturan yang dibuat oleh Mahkamah ini mengikat pihak-pihak yang
bersengketa yang diajukan kepada Mahkamah, secara garis besar adalah sebagai
berikut:
a. Prosedur tertulis dan perdebatan secara
lisan diatur sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak mendapatkan jaminan
secara penuh untuk mengemukakan pendapat.
b. Sidang Mahkamah Internasional terbuka untuk
umum, sementara untuk rapat-rapat hakim Mahkamah diadakan dalam sidang
tertutup.
c.Untuk memeriksa kasus-kasus tertentu
Mahkamah dapat membentuk satu atau beberapa kamar yang terdiri dari tiga hakim
atau lebih.
d.Keputusan Mahkamah diambil dengan suara mayoritas
dari hakim-hakim yang hadir.
Sebaiknya Anda
Tahu
Penyelesaian
Sengketa Lewat Mahkamah Internasional
Prosedur penyelesaian sengketa Internasional melalui
Mahkamah Internasional:
Hanya
menerima sengketa bersifat fakultatif artinya bila sengketa antara dua
negara tersebut mengajukan perkaranya bersama ke Mahkamah Internasional.
Yang
dapat mengajukan perkaranya ke Mahkamah Internasional adalah negara
anggota PBB dan bukan anggota PBB tetapi termasuk peserta Piagam Mahkamah
internasional.
Sengketa
yang bersifat individual bisa mengajukan sengketanya ke Mahkamah
Internasional melalui mekanisme perlindungan diplomatik.
Mahkamah
Internasional hanya mengadili masalah-masalah yang berkenaan dengan
perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum.