C. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional
Sebelum kita bicara tentang
tahap-tahap perjanjian internasional ada baiknya kita perlu tahu berbagai
istilah dalam perjanjian internasional, tahu tentang pengertian perjanjian
internasional menurut para ahli, serta mengetahui juga klasifikasi perjanjian
internasional.
Sebaiknya Anda Tahu
Beberapa
Istilah dalam Perjanjian Internasional
Jika kita mencermati berbagai batasan
pengertian mengenai perjanjian internasional yang dikemukakan oleh para ahli,
ternyata satu sama lain saling berbeda. Adanya perbedaan. Adanya perbedaan ini
wajar, karena sudut pandang yang digunakan barangkali berbeda. Selain itu juga karena terdapatnya banyak istilah
yang digunakan. Istilah-istilah tersebut adalah: traktat, fakta,
konvensi, piagam, statuta, deklarasi, Protocol, covenant, agreement, dan
proses verbal.
1.
Pengertian Perjanjian Nasional
Menurut
Prof. Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian
yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
G.
Schwarzenbeger mendefinisikan traktat sebagai suatu persetujuan antara
subjek-subjek hukum internasional, dapat berbentuk bilateral ataupun
multila-teral. Sementara itu Oppenheim mendefinisikan perjanjian
internasional adalah suatu persetujuan antarnegara, yang menimbulkan hak
dan kewajiban di antara para pihak.
Definisi
lain dikemukakan oleh Boer Mauna yang menyatakan bahwa perjanjian
internasional (Traktat) adalah semua perjanjian yang dibuat antara
subjek-subjek aktif hukum internasional dan yang diatur hukum internasional
serta berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum.
International
Law of Commission (ILC) mendefinisikan traktat sebagai semua
perjanjian dalam bentuk tertulis apakah dirumuskan dalam suatu instrumen
tunggal atau dalam beberapa instrumen tambahan yang dibuat oleh dua atau
beberapa negara atau subjek-subjek hukum internasional, istilah apa pun yang
dipakai.
Mirip
dengan rumusan ILC adalah rumusan yang diatur di dalam Konvensi Wina tahun
1969 tentang hukum perjanjian. Di sana dikemukakan bahwa traktat
(perjanjian internasional) adalah suatu perjanjian yang dibuat di antara
negara-negara dalam tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah
dirumuskan dalam satu atau lebih hukum internasional, apakah dirumuskan dalam
satu atau lebih instrumen yang berkaitan dan apa saja nama yang dipakai untuk
itu.
2.
Klafisikasi Perjanjian Internasional
a. Berdasar
Jumlah Negara yang Melakukan Perjanjian
Ada dua macam perjanjian internasional,
yaitu traktat bilateral dan traktat multilateral. Traktat bilateral adalah
traktat yang diadakan oleh dua buah negara untuk mengatur kepentingan kedua
belah pihak. Sedangkan traktat multilateral adalah traktat yang diadakan
oleh banyak negara/pihak.
b. Berdasar
Akibat Hukumnya
Ada
dua macam traktat, yaitu perjanjian yang bersifat khusus (treaty contract)
dan perjanjian yang bersifat umum (Law making teraties).
Treaty
contract adalah suatu perjanjian yang hanya mengakibatkan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan law
making treaties adalah perjanjian yang meletakkan
ketentuan-ketentuan/kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai
keseluruhan. Pembagian yang kedua ini dikemukakan, bahwa law making treaties
adalah traktat yang diadakan oleh sejumlah besar negara, baik untuk
menentukan apa yang menjadi hukum mengenai hal ihwal tertentu, maupun
menetapkan hukum baru yang umum untuk hari depan, ataupun yang membentuk
lembaga internasional.
Penggunaan
istilah law making treaties dan treaty contract ini dikritik oleh
Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Prof. Mochtar mengatakan bahwa penggunaan kedua
istilah tersebut kurang tepat, sebab jika dilihat dari sudut yuridis, maka:
1) Menurut
bentuknya baik yang pertama maupun yang kedua adalah satu perjanjian atau
persetujuan antara pihak-pihak yang mengadakan dan yang mengakibatkan timbulnya
hak-hak dan kewajiban bagi para pesertanya;
2) Menurut fungsi
yang pertama maupun yang kedua adalah law making. Prof. Suhardi menyebut
law making treaties sebagai perjanjian-perjanjian yang menerbitkan atau
menciptakan hukum, dan treaty contract sebagai perjanjian-perjanjian murni atau
kontrak. Sedangkan Prof. Mochtar menyebutnya untuk law making treaties
sebagai perjanjian-perjanjian yang bersifat umum dan untuk reaty contrct
sebagai perjanjian khusus.
c. Berdasar
Objeknya
Dilihat dari objeknya, traktat dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu traktat yang berisi masalah politik
dan traktat yang berisi masalah ekonomi.
d. Berdasar
Tahap-Tahapnya
Dilihat dari sudut pandang ini, ada dua
macam traktat, yaitu traktat yang dibuat lewat dua dua tahap traktat yang
dibuat lewat tiga tahap. Tahap-tahap penyusunan traktat tersebut adalah (1) perundingan atau negotiation dan
(2) penandatanganan atau signature bagi yang dibuat lewat dua tahap, dan
kedua tahap tersebut ditambah tahap ketiga (3) pengesahan atau ratification
bagi yang disusun lewat tiga tahap.
Setiap negara (dalam arti hukum Internasional) mempunyai
kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional.
Gambar
penandatanganan batas laut dengan negara tetangga
Malaysia,
Filipina dan Singapura
3. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional
a. Tahap
Perundingan
Perundingan
adalah pembicaraan dan pembahasan yang dilakukan para utusan delegasi dari
pemerintah negara peserta terhadap materi
yang akan ditungkan di dalam naskah perjanjian. Mengenai siapa yang dapat mewakili suatu negara dalam suatu perundingan internasional, hukum
internasional tidak mengaturnya, karena hal tersebut merupakan persoalan intern
dari masing-masing negara yang bersangkutan.
Hukum internasional mengadakan
suatu ketentuan, yaitu dengan adanya suatu ‘kuasa penuh” (full power)
artinya orang-orang yang mewakili suatu negara dalam suatu perundingan untuk
mengadakan perjanjian inter-nasional harus membawa surat kuasa penuh (full
power). Tanpa ini seseorang tidak dapat dianggap secara sah sebagai wakil
dari suatu negara, sehingga sebagai konsekuensinya ia tidak akan dapat
mengesahkan naskah suatu perjanjian internasional atas nama negaranya. Dalam
hal ini ada pengecualiannya, yaitu jika sejak semula para peserta sudah
menemukan bahwa kuasa penuh semacam itu tidak diperlukan. Keharusan untuk
menunjukkan full power/credential tersebut tidak berlaku bagi (1) Kepala
Negara, (2) Kepala Pemerintah, (3) Menteri Luar Negeri dan (4) Kepala
Perwakilan Diplomatik (dalam perundingan negara dimana ia ditempatkan).Untuk
memeriksa sah atau tidaknya surat-surat kuasa tersebut dibentuk panitia pemeriksaan
surat-surat kuasa penuh.
Perundingan
dalam pembukaan perjanjian internasional dilakukan dengan bermusyawarah saling
berbicara. Dalam pembuatan perjanjian internasional multilateral perundingan
dilakukan dalam konferensi diplomatik, dan ini merupakan perundingan yang
resmi. Jika dari perundingan tersebut
telah mencapai kata sepakat baik menggenai isi maupun rumusan naskah
perjanjian, maka kesepakatan itu harus diinformasikan secara resmi. Tahap
inilah yang disebut dengan tahap pengadopsian naskah perjanjian atau penerimaan
naskah perjanjian (adoption of the text). Untuk perjanjian-perjanjian
yang diadakan melalui konferensi internasional multilateral, penerimaan naskah
perjanjian ini dilakukan dengan pemungutan suara. Penerimaan naskah perjanjian
barulah sah, jika disepakati oleh 2/3 dari negara-negara yang hadir dan
memberikan suaranya atau sesuai dengan kesepakatan negara-negara peserta.
Naskah perjanjian yang telah diterima oleh wakil-wakil tersebut, meskipun
isinya sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, namun dari segi redaksinya maupun
rumusan-rumusan kalimatnya masih dapat disempurnakan, guna menghindarkan dan
mengurangi kesalahan dalam menafsirkan maupun menerapkannya.
b. Tahap
Penandatanganan
Naskah
perjanjian yang telah diterima namun masih disempurnakan, maka jika
penyempurnaan itu telah selesai dan tidak ada lagi masalah yang prinsip, maka
tindakan selanjutnya adalah menerapkan naskah perjanjian itu sebagai naskah
yang autentik. Langkah ini disebut sebagai pengesahan naskah perjanjian. Adapun
cara pengesahan ini ditempuh berdasarkan tatacara yang ditentukan sendiri di
dalam salah satu pasal dari naskah perjanjian tersebut. Jika tidak ditegaskan
di dalam salah satu pasal naskah perjajian, maka pihak-pihak yang
berpartisipasi dalam proses pembuatan perjanjian tersebut dapat menentukan cara
lain yang mereka sepakati bersama. Adapun cara pengesahan naskah perjanjian
tersebut adalah dengan penandatanganan oleh wakil-wakil negara peserta.
Jika sejak semula telah disepakati bahwa
perjanjian cukup dibuat lewat dua tahap, maka tahap penandatanganan ini
sekaligus menandai mulai berlakunya perjanjian internasional. Akan tetapi, jika
sejak semula telah dirancang bahwa perjanjian internasional akan dibuat lewat
tiga tahap penandatanganan ini hanya berarti bahwa wakil-wakil negara peserta
telah menyetujui naskah perjanjian dan bersedia menerima serta akan
meneruskannya kepada pemerintah negaranya.
Gambar perundingan perdamaian
antara Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka
di Helsinki Filandia.
c. Tahap
Pengesahan
Naskah
perjanjian yang telah ditandatangani oleh para wakil dari negara-negara peserta
kemudian dibawa pulang untuk diserahkan kepada pemerintah negaranya.
Selanjutnya terserah pada pemerintah dari masing-masing negara peserta akan
diapakan naskah perjanjian tersebut. Bisa jadi karena begitu pentingnya naskah
perjanjian tersebut bagi negara peserta, maka perjanjian itu disahkan terhadap
naskah perjanjian inilah yang disebut ratifikasi.
Mengenai
ratifikasi internasional, di dalam praktik antara negara satu dengan lainnya
tidak sama. Dalam hal ini dapat dibedakan ke dalam tiga sistem, yaitu:
1) Ratifikasi
oleh badan eksekutif (misalnya Jepang, dan Italia).
2)
Ratifikasi oleh badan legislatif
(misalnya Elsavador, dan Honduras).
3) Ratifikasi oleh badan legislatif dan eksekutif
(sistem ratifikasi itu banyak digunakan oleh negara-negara yang ada sekarang
ini).
Dari
uraian tentang sistem ratifikasi maka dapatlah dirumuskan bahwa ratifikasi
adalah perbuatan negara yang dalam taraf internasional menetapkan
persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional yang sudah
ditandangani oleh para utusannya. Pelaksanaan ratifikasi itu tergatung pada
hukum nasional negara yang bersangkutan. Dasar pembenaran ratifikasi itu antara
lain adalah bahwa negara berhak untuk meninjau kembali hasil perundingan
utusannya sebelum menerima kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian
internasional yang bersangkutan, dan bahwa negara tersebut mungkin memerlukan
penyesuaian hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan.
Namun demikian satu hal yang harus dicatat, bahwa hukum internasional tidak
mewajibkan negara yang utusannya telah menandatangani hasil perundingan yang
dilakukannya, untuk meratifikasi persetujuan tersebut. Tidak adanya kewajiban
ini karena negara adalah berdaulat.
Sebaiknya Anda Tahu
Sahnya Perjanjian Internasional
Sah
berarti berlaku menurut hukum. Dengan demikian perjanjian internasional adalah
sah jika memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, baik ketentuan hukum yang mengatur wewenang pihak
yang berjanji maupun ketentuan hukum yang mengatur proses pembuatan perjanjian
internasional yang bersangkutan.
Konvensi
Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional tidak menerapkan syarat sahnya
perjanjian internasional. Konvensi ini menerapkan prinsip-prinsip yang diterima
umum tentang enam unsur yang dijadikan dasar tidak sahnya perjanjian
internasional, yaitu:
1. ketidakmampuan
membuat traktat,
2. kesalahan,
3. penipuan/tipu
muslihat,
4. kecurangan,
5. paksaan,
dan
6. bertentangan
dengan norma ius cogens.
Yang dimaksud dengan ius cogens adalah
prinsip hukum yang memaksa, yang tidak dapat diingkari atau disampaikan
ketentuan hukum yang lain.
d. Tahap Tukar Menukar Naskah
Naskah
perjanjian internasional yang telah diratifikasi baru bisa berlaku setelah
diadakan tukar menukar naskah ratifikasi. Bagi perjanjian internasional yang
bilateral, pertukaran, naskah ratifikasi dilakukan negara pihak lawan berjanji,
sedangkan bagi perjanjian internasional multilateral setelah diratifikasi
selanjutnya diserahkan kepada negara
penyimpanan. Ini dikenal dengan
istilah pendepositan. Negara penyimpan naskah ratifikasi biasanya adalah
negara tempat ditandatanganinya perjanjian. Dan biasanya ditangani oleh
Departemen Luar Negeri.
Sebaiknya Anda Tahu
Tahap Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Ratifikasi
menetapkan terikatnya negara pada suatu perjanjian internasional, tetapi
ratifikasi tidak menetapkan saat mulai terikatnya negara pada perjanjian yang
diratifikasikannya. Pada umumnya, berlakunya suatu perjanjian internasional
tergantung pada ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional. Sebagai
contoh, dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961 (Vienna
Convention on Diplomatic Relations), ketentuan seperti ini diatur di dalam
pasal 51. Selengkapnya pasal 51 tersebut berbunyi sebagai berikut:
1. Konvensi
ini mulai berlaku pada hari ke-30 sesudah tanggal penyimpanan instrumen
ratifikasi atau aksesi yang ke-22 pada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
2. Untuk
setiap negara yang meratifikasi atau aksesi sesudah penyimpanan instrumen
ratifikasi atau aksesi yang ke-22, konvensi berlaku mulai hari ke-30 sesudah
penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi itu oleh negara tersebut.
Ketentuan tersebut ayat satu telah
terpenuhi pada tanggal 24 Maret 1964, dan Konvensi mulai berlaku pada tanggal
24 April 1964.
e. Pendaftaran Perjanjian Internasional
Perserikatan
Bangsa-Bangsa mewajibkan anggotanya untuk mendaftarkan semua perjanjian dan
persetujuan internasional yang dibuatnya kepada Sekretariat Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang kemudian akan mengumumkannya dalam “United Nations
Treaties Series”. Ketentuan ini diatur di dalam pasal 102 Piagam PBB.
Maksud
dari pasal 102 tersebut adalah untuk mencegah negara-negara mengadakan
persetujuan rahasia di antara mereka, dan memungkinkan negara-negara demokrasi
untuk menolak traktat seperti itu.
Pernah
diusulkan agar pasal 102 tersebut memberikan kepada negara-negara anggota
kebebasan untuk menentukan sendiri apakah akan mendaftarkan traktat itu atau
tidak, dan apabila tidak mendaftarkannya, maka negara itu secara sukarela
memikul hukuman. Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Komite keenam
(Legal Committe) Majelis Umum PBB tahun 1947, yang menyata-kan bahwa ketentuan
pasal 102 tersebut mengenakan kewajiban mengikat untuk mengadakan pendaftaran.
Berkenaan dengan masalah pendaftaran ini, ada beberapa hal yang perlu
dikemukakan, yaitu:
a. Selama waktu
menanti pendaftaran, traktat yang belum didaftar dapat diajukan ke hadapan
Mahkamah atau organ-organ PBB lainnya, asalkan kemudian traktat itu kemudian
didaftarkan.
b. Sekalipun
tidak berhasil mendaftarkannya selekas mungkin namun traktat itu masih dapat di
daftarkan berikutnya.
c. Walaupun pada
prinsipnya fungsi Sekretariat adalah semata-mata penyelenggara dan tidak dapat
menolak traktat atau persetujuan internasional yang tidak sah.
d. Dengan petunjuk
Majelis Umum, Sekretariat menerima dokumen yang harus dihimpun dan dicatat yang
sudah berlaku sebelum berlakunya Piagam, dan yang disampaikan oleh
negara-negara bukan anggota, namun pada
pokoknya proses ini pendaftarannya adalah sukarela.
e. Pernyataan-pernyataan
yang sah mengenai perubahan para pihak, atau istilah, ruang lingkup serta
penerapan traktat-traktat yang didaftar, juga diterima untuk didaftar.
Sebaiknya Anda Tahu
Berakhirnya Perjanjian Internasional
Menurut
Strarke berakhirnya suatu traktat atau perjanjian internasional karena:
a. Hangusnya
seluruh materi pokok dari suatu traktat.
b. Terjadinya
pecah perang antara pihak.
c. Pelanggaran
traktat oleh masalah satu pihak memberikan hak kepada pihak lain untuk
mengakhirinya.
d. Ketidakmungkinan
melaksankan traktat karena penghilangan atau perusakan terus menerus suatu
objek (tujuan) yang sangat diperlukan bagi pelaksanaan traktat.
e. Doktrin
rebus sic stantibus, yaitu terjadinya perubahan yang fundamental dalam
kenyataan-kenyataan yang ada pada waktu traktat itu diadakan. Masalah seperti
ini sekarang diatur dalam Konvensi Wina pasal 62 (di bawah judul Perubahan
Fundamental Keadaan):
1) Suatu
perubahan fundamental keadaan yang terjadi pada saat para pihak, tidajk dapat
dijadikan alasan mengakhiri atau menarik diri dari traktat, kecuali:
a) Keadaan-keadaan tersebut merupakan landasan
hakiki dari persetujuan para pihak untuk mengikatkan diri pada traktat, dan
b) Akibat perubahan tersebut secara mendasar
mengubah tingkat/luas kewajiban yang masih akan dilaksanakan menurut traktat.
2) Perubahan fundamental keadaan tidak dapat
dijadikan alasan mengakhiri atau menarik diri dari traktat:
a) jika traktat itu menetapkan suatu batas atau
b) perubahan fundamental tersebut merupakan
akibat dari pelanggaran salah satu pihak yang menghendakinya baik karena
kewajiban menurut traktat maupun karena kewajiban internasional lainnya oleh
masalah satu pihak terhadap traktat tersebut.
3) Jika pada ayat-ayat sebelumnya, suatu pihak
menghendaki perubahan fundamental keadaan sebagai alasan untuk mengakhiri atau
menarik diri dari traktat, juga ia dapat menghendaki perubahan tersebut sebagai
alasan untuk menanggungkan berlakunya traktat.
0 komentar:
Posting Komentar