HUKUM INTERNASIONAL DAN PENGADILAN INTERNASIONAL
A. Makna, Asas, Subyek dan Sumber Hukum Internasional
1. Pengertian Hukum Internasional
Hukum internasional adalah himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.
Di dalam ketentuan hukum itu sesungguhnya mencakup banyak hal, antara lain:
1) Adanya peraturan.
2) Adanya subjek yang dikenal peraturan.
3) Adanya keharusan subjek untuk mematuhtaati peraturan.
4) Adanya akibat buruk jika peraturan itu dilanggar.
Unsur-unsur yang ada di dalam hukum internasional:
1) Adanya peraturan-peraturan/norma-norma, isinya: traktat, kebiasaan, dan asas-asas.
2) Adanya subjek hukum.
3) Adanya peraturan subjek-subjek hukum terhadap peraturan-peraturan yang ada.
4) Kepatuhan itu disyaratkan jika mereka akan saling mengadakan hubungan.
Dari gambaran di atas serta dari unsur-unsur yang harus ada di dalam hukum internasional, maka dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menciptakan kehidupan masyarakat internasional yang teratur maka mutlak diperlukan adanya norma atau peraturan yang disebut hukum internasional. Keharusan tunduknya subjek-subjek hukum internasional, khususnya negara dalam mengadakan hubungan satu sama lain merupakan hal yang tidak dapat ditawarkan lagi.
Dari uraian singkat di atas juga dapat dipahami, mengenai tujuan hukum internasional, yaitu:
1) Mewujudkan keadilan dalam hubungan internasional.
2) Menciptakan hubungan internasional yang teratur.
Sebaiknya Anda Tahu
Nama lain hukum internasional adalah international law, transnational law (Inggris) ius gentium (Romawi), volkenreet (Jerman), volkenrecht (Belanda), droitgent (Perancis), hukum antar bangsa (Indonesia).
Hukum Internasional dapat dibagi menjadi dua yakni hukum perdata internasional dan hukum publik internasional. Hukum perdata internasional, adalah hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antara warga negara suatu negara dengan warga negara dari negara lain. Hukum publik internasional adalah hukum internasional yang mengatur negara yang satu dengan negara lain di dalam hubungan internasional.
2. Subjek dan Asas Hukum Internasional
Subjek hukum internasional yang utama adalah negara. Selain negara subjek hukum internasional bisa berupa subjek hukum lain yang bukan negara. Mochtar Kusumaatmadja, mendefinisikan hukum internasional sebagai “keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batasan negara, antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”.
Dari definisi tersebut terungkap bahwa hukum internasional merupakan asas yang mengatur hubungan antarnegara, kalau begitu apa yang dimaksud dengan asas di sini? Karena subjek utama hukum internasional adalah negara, maka yang dimaksudkan dengan asas hukum internasional adalah apa yang mendasari atau yang menjadi dasar dari hubungan antarnegara.
Sebaiknya Anda Tahu
Asas-Asas Hukum Internasional
1) Tidak menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara.
2) Tidak ada intervensi.
3) Persamaan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa.
4) Persamaan kedaulatan negara.
5) Itikad baik dalam hubungan internasional
6). Penghormatan kedaulatan negara.
Hukum internasional diberlakukan dalam rangka menjaga hubungan dan kerja sama antar negara. Karena itu, hukum tersebut tidak boleh dibuat tanpa memperhatikan kepentingan masing-masing negara. Untuk itu hukum internasional harus memperhatikan asas-asas sebagai berikut:
a. Asas Teritorial
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hokum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi terhadap semua barang atau orang yang berada diluar wilayah tersebut berlaku hokum asing (internasional) sepenuhnya.
b. Asas Kebangsaan
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk mengatur warga negaranya. Menurut asas ini, setiap warga negara di manapun berada, tetap berada di bawah jangkauan hokum negara asalnya. Asas ini mempunyai kekuatan exterritorial. Artinya, hukum suatu negara tetap berlaku bagi warga negaranya, walaupun dia berada di negara lain.
c. Asas Kepentingan Umum
Asas ini didasarkan pada kewenangan negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara.
3. Sumber-Sumber Hukum Internasional
Menurut pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa sumber hukum internasional adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian Internasional (International Convention)
b. Kebiasaan Internasional (International Costum)
c. Prinsip-Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
d. Keputusan Pengadilan (Jaudicial Decisions) dan pendapat para ahli (doktrin).
Dari beberapa pengertian kata sumber di atas, apabila dikaitkan dengan hukum internasional maka sumber hukum internasional dapat diartikan:
a. Dari mana asal mula hukum itu (sumber hukum dalam arti materiil).
b. Bagaimana terjadinya hukum itu (sumber hukum dalam arti luas).
c. Dalam bentuk apa saja hukum itu menampakkan diri (sumber hukum dalam arti formal).
Sebaiknya Anda Tahu
Sumber Hukum Internasional Menurut Para Ahli
1. Starke
Menurut Starke sumber hukum internasional meliputi:
a) Kebiasaaan internasional
b) Traktat
c) Keputusan-keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrasi
d) Karya-karya Yuridis
e) Keputusan atau ketetapan organ-organ lembaga internasional
2. Wiryono Projodikoro
Menurut Wiryono Projodikoro ada sejumlah sumber hukum internasional, yaitu:
a) Perjanjian internasional
b) Hukum adat kebiasaan
c) Putusan-putusan pengadilan
d) Ilmu pengetahuan hukum
e) Tulisan-tulisan sarjana hukum
f ) Hasil-hasil konferensi ahli hukum internasional
g) Kodifikasi dokumen-dokumen
3. Mochtar Kusumaatmadja
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa sumber hukum internasional terdapat dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Menurut ketentuan pasal ini, dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:
a) Perjanjian internasional baik bersifat umum atau khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.
b) Kebiasaan internasional sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum.
c) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
d) Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.
Berikut dijelaskan mengenai sumber-sumber hukum internasional yang didasarkan pada ketentuan pasal 38 ayat 1 statuta Mahkamah Internasional.
a. Perjanjian Internasional (International Convention)
Perjanjian internasional merupakan sumber utama hukum internasional. Pada awal pertumbuhannya, yang menjadi sumber hukum internasional adalah kebiasaan internasional.
b. Kebiasaan internasional (international Custom)
Pada awal pertumbuhannya, kebiasaan internasional merupakan sumber terpenting hukum internasional. Akan tetapi di dalam perkembangannya, karena semakin banyak persoalan yang teratur dengan perjanjian internasional, maka tempat tersebut kemudian diduduki oleh perjanjian internasional.
Tidak setiap kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum. Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional merupakan sumber hukum, perlu adanya dua unsur, yaitu:
1) Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum (unsur material).
2) Kebiasaan itu harus sebagai hukum (unsur psikologis).
Jika hanya unsur pertama saja yang ada, itu baru merupakan kesopanan internasional. Sebagai contoh misalnya, kebiasaan memberikan sambutan kehormatan waktu kedatangan tamu resmi dari negara lain, dalam hal ini kepala negara atau kepala pemerintahan. Wujud sambutannya dengan tembakan meriam akan tetapi jika ini tidak dilakukan, tamu tidak dapat menuntut supaya diadakan tembakan meriam.
Syarat kapan suatu kebiasaan internasional dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat umum, dua hal, yaitu:
1) Perlu adanya suatu kebiasaan, yaitu suatu tindakan yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa.
Namun pengertian lama disini sangat relatif, sebab mahkamah internasional tidak menekankan soal ini, tetapi menekankan bahwa kebiasaan itu terbukti sebagai praktik umum yang diterima.
2) Hal tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur yang kedua, unsur psikologis, yaitu bahwa kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.
c. Prinsip-prinsip Hukum Umum (General Principles of Law)
Prinsip-prinsip hukum umum sebagaimana dituangkan dalam ketentuan pasal 38 ayat 1 huruf c Statuta Mahkamah Internasional tersebut dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip hukum yang melandasi semua hukum yang ada di dunia, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Hukum umum di sini melingkupi latar internasional maupun nasional. Hukum ini sifatnya sangat fundamental, karena berupa prinsip-prinsip, dan melandasi semua kaidah hukum positif sehingga perberlakuannnya pun universal. Semua negara dianggap terikat pada prinsip-prinsip hukum umum terlepas dari apakah suatu negara menyetujui atau tidak.
Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmaja misalnya, mengemukakan bahwa prinsip pacta sunt servanda, prinsip iktikad baik, prinsip penyalahgunaan hak sebagai prinsip hukum umum. Lebih jauh prinsip-prinsip hukum umum mempunyai pengertian yang ditetapkan dalam perancangan Statuta Mahkamah Internasional (waktu itu Mahkamah tetap Pengadilan Internasional), yang berupa Advisory Committee of Jurist tahun 1920, berkaitan dengan ketentuan pasal tersebut. Advisory Committee of Jurist tersebut antara lain menyimpulkan:
1) Perkataan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab dimaksudkan terdiri dari prinsip-prinsip yang diakui oleh semua bangsa dalam forum domestik.
2) Walaupun anggota-anggota komite menganggap bahwa prinsip-prinsip hukum umum menjadi bagian hukum alam, prinsip-prinsip ini harus telah diterima oleh negara-negara.
3) prinsip-prinsip hukum umum harus berfungsi sebagai sumber di dalam kerangka kerja dari suatu kondisi peradilan. Dengan demikian prinsip-prinsip hukum umum merupakan sumber bagi Mahkamah Internasional dalam menetapkan suatu ketentuan guna menyelesaikan perselisihan, yaitu dengan mengambil suatu ketentuan guna menyelesaikan perselisihan, yaitu dengan mengambil suatu ketentuan yang berasal atau bersumber dari prinsip-prinsip fundamental hukum yang memang telah diterima sebagai hukum internasional oleh negara-negara.
Adanya prinsip-prinsip hukum umum sebagai sumber hukum primer, sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Dengan adanya sumber hukum ini Mahkamah Internasional tidak dapat menyatakan nonliquitd, yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan.
d. Pendapat Para Sarjana yang Terkemuka dari Bangsa di Dunia
Ini hanya merupakan sumber subsider, hanya sebagai tambahan, yang tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.
Namun demikian, keputusan pengadilan, terutama Mahkamah Tetap Pengadilan Internasional, Mahkamah Internasional, Mahkamah Arbitrasi, tetap mempunyai pengaruh besar di dalam perkembangan hukum internasional.
Sementara itu, pendapat para sarjana terkemuka mengenai suatu masalah tertentu, meskipun bukan merupakan hukum positif, seringkali dikutip untuk memperkuat argumen tentang adanya atau kebenaran dari suatu norma hukum.
Pendapat para sarjana akan lebih cepat berpengaruh jika dikemukakan oleh badan-badan ahli atau perkumpulan-perkumpulan profesional, di mana para sarjana yang berdasarkan keahlian yang sama atau sejenis berkumpul di dalamya. Sebagai contoh adalah Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) yang merupakan komisi ahli yang dibentuk oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi MU tahun 1947.
4. Ratifikasi Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional
a. Pengertian Ratifikasi
Ratifikasi tidak lain adalah suatu bentuk pengesahan terhadap perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara, yang sekaligus sebagai suatu bentuk pernyataan bahwa negara yang meratifiakasi tersebut siap untuk terikat oleh perjanjian internasional itu. Dengan kata lain, lewat ratifikasi berarti negara itu telah menjadikan perjanjian internasional yang menjadi bagian dari hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasionalnya..
Sebagai anggota aktif masyarakat internasional, Indonesia membuat perjanjian dengan negara-negara lain maupun dengan organisasi-organisasi internasional. Ditinjau dari segi materinya, perjanjian yang dibuat Indonesia meliputi hampir semua bidang kehidupan, antara lain bidang politik, hukum, perdagangan, ekonomi, keuangan, teknologi, kebudayaan dan lain-lain. Hingga sekarang Indonesia telah terlibat dalam berbagai perjanjian internasional baik multilateral maupun bilateral. Berdasarkan penelitian yang diadakan oleh Direktoral Perjanjian Internasional Deplu sampai dengan tahun 2000, Indonesia telah membuat sekitar 2000 perjanjian bilateral dan100 perjanjian multilateral.
Sebaiknya Anda Tahu
Dasar Hukum Ratifikasi
Dasar hukum bagi pemerintahan Republik Indonesia dalam mengikatkan diri pada perjanjian-perjanjian internasional adalah ketentuan pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Sampai dengan bulan Oktober tahun 2000, pasal 11 ini belum dijabarkan dalam bentuk Undang-Undang. Satu-satunya penjelasan pasal 11 tersebut adalah Surat Presiden No. 2826/HK/60, tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua DPR, tentang Pembuatan Perjanjian dengan negara lain. Walaupun belum mendapatkan jawaban dari DPR, isi surat tersebut terus dipraktikkan dalam proses pembuatan perjanjian internasional. Pada tahun 1975, dengan suratnya No.107/KD/1784/DPR-RI/75 tanggal 30 Juni 1975 DPR mengirimkannya kepada Menteri Sekretaris Negara memohon konfirmasi tentang isi Surat Presiden No. 2826/HK/60. Dengan suratnya No. 202/M-Sesneg/8/75 Menteri Sekretaris negara menjawab Surat Ketua DPR tersebut dengan penjelasan bahwa Surat Presiden No. 2826/HK/60 tetap merupakan dasar hukum sebagai pelaksanaan pasal 11 UUD 1945. Ini berarti sebagai penegasan kembali dari Pemerintah bahwa Surat Presiden itu masih belaku.
Surat Presiden tersebut memberikan penafsiran akan adanya dua bentuk perjanjian, yaitu perjanjian yang penting yang berbentuk traktat dan perjanjian yang kurang penting yang berbentuk persetujuan. Dengan demikian akan ada dua macam cara pengesahan dari perjanjian internasional, yaitu:
1) Pengesahan melalui DPR dengan Undang-Undang untuk traktat.
2) Pengesahan dengan Keputusan Presiden (Keppres) dan DPR cukup diberi tahu dalam bentuk Persetujuan.
b. Dasar Hukum Ratifikasi
Dasar hukum bagi pemerintahan Republik Indonesia dalam mengikatkan diri pada perjanjian-perjanjian internasional adalah ketentuan pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk perjanjian-perjanjian penting, pemerintah menyampaikan ke DPR dalam bentuk traktat untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum disahkan oleh Presiden. Di sini pengesahannya berupa Undang-Undang. Perjanjian yang disahkan dengan Undang-Undang ini mengandung materi:
1) Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, misalnya perjanjian persahabatan, perjanjian tentang penetapan tapal batas.
Sebagai contoh perjanjian ini antara lain adalah:
a) Perjanjian persahabatan RI-Saudi Arabia 1971 yang disahkan dengan UU No. 9 tahun 1971, Lembaran Negara (LN) No.70/1971. b) Perjanjian RI – Malaysia mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah disahkan dengan UU No. 2 tahun 1971, LN. No. 16/1971 tanggal 10 Maret 1971.
c) Perjanjian RI – Singapura mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah disahkan dengan UU N0.7 tahun 1973, LN No. 59/1973 tanggal 8 Desember 1973.
Sementara itu untuk penetapan landas kontinen dengan negara-negara tetangga cukup dengan persetujuan, ini berarti pengesahannya cukup dengan Keppres. Sebagai contoh misalnya:
a) Persetujuan RI-Malaysia mengenai Penentuan Batas Landasan Kontinen disahkan dengan Keppres No. 89 tahun 1969, LN No. 54/1969 tanggal 5 November 1969.
b) Persetujuan RI-Thailand tentang Penentuan Batas Landasan Kontinen, disahkan dengan Keppres No. 21 tahun 1972, LN No. 16/1972 tanggal 11 Maret 1972.
c) Persetujuan RI-India tentang Penentuan Batas Landasan Kontinen, disahkan dengan Keppres No. 51 tahun 1974, LN No.47/1974 tanggal 25 September 1974.
2) Ikatan-Ikatan yang sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri negara, di mana ikatan-ikatan yang sedemikian rupa itu dapat dicantumkan di dalam perjanjian kerja sama ekonomi dan teknis atau pinjam uang.
Di dalam praktik, ternyata untuk butir 2) pengesahannya cukup dengan Keppres. Sebagai contoh adalah:
a) Persetujuan Kerjasama Ekonomi dan Teknik RI-Rumania disahkan dengan Keppres No.68 tahun 1972, LN No.47/1972, tanggal 6 Desember 1972.
b) Persetujuan Kerjasama Ekonomi dan Teknik RI-Malaysia disahkan dengan Keppres No.34 tahun 1974, LN No.36/1974, tanggal 6 Juli 1974.
c) Persetujuan Pinjam Keuangan (Loan Agreement ) RI-Abu Dhabi, disahkan dengan Keppres No. 34 tahun 1977, LN No.42/1977 tanggal 25 Juli 1977.
d) Persetujuan Pinjam Keuangan RI-Kuwait, disahkan dengan Keppres No. 33 tahun 1977, LN No.41/1977 tanggal 25 Juni 1977. Ada persetujuan mengenai soal-soal keuangan yang disahkan dengan Undang-Undang, yaitu Persetutujuan RI Belanda tentang soal-soal keuangan, disahkan dengan UU No.7 tahun 1966, LN No.6/1966 tanggal 8 November 1966.
3) Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem perundang-undangan kita harus dengan Undang-Undang, seperti soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman.
Beberapa contoh perjanjian yang mengatur tentang ini adalah:
a) Perjanjian Ekstradisi RI – Malaysia, disahkan dengan UU No.9 tahun 1974, LN No.63/1974 tanggal 26 Desember 1974.
b) Perjanjian Ekstradisi RI – Filipina, disahkan dengan UU No.10 tahun 1976, LN No.38/1976 tanggal 26 Juli 1976.
c) Perjanjian Ekstradisi RI – Thailand, disahkan dengan UU No.2 tahun 1978, LN No.12/1978 tanggal 18 Maret 1978.
Sementara itu, di dalam pengesahan konvensi juga terdapat perbedaan, artinya ada konvensi yang disahkan dengan undang-undang, namun juga ada konvesi yang disahkan dengan Keppres.
Beberapa contoh konvensi yang disahkan dengan undang-undang adalah:
a) Konvensi Jenewa 1949 tentang Perundingan Korban Perang, disahkan dengan UU No.59 tahun 1958, LN No.109/1958 tanggal 31 Juli 1958.
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konverensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler di sahkan dengan UU No. 1 tahun 1982 tanggal 25 Januari 1982, LN No.2/1985.
b) Konvensi Psikotropika 1971 disahkan dengan UU No.8 tahun 1996 tanggal 7 November 1996 tanggal 7 November 1996, LN No.100/1996.
Sedangkan contoh konvensi yang disahkan dengan Keppres antara lain adalah:
a) Konvensi tentang Privelege dan Imunitas PBB 1946 dan konverensi tentang Privelege dan Imunitas Badan-Badan Khusus PBB, disahkan dengan Keppres No.51 tahun 1969, LN No.33/1969 tanggal 24 Juni 1969.
b) Konvensi untuk Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan yang disah kan dengan Keppres No.228 tahun 1966.
Itulah sejumlah contoh praktik pengesahan perjanjian internasional untuk menjadi bagian dari hukum nasional. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional yang dengan undang-undang perlu mendapatkan persetujuan dari DPR, sementara pengesahan yang dengan Keppres, DPR cukup diberi tahu. Bahkan di dalam praktik ada perjanjian internasional yang tidak memerlukan pengesahan, artinya perjanjian itu berlaku setelah penandatanganan, misalnya Deklarasi Bangkok atau Deklarasi ASEAN tanggal 8 Agustus 1967.
Sebaiknya Anda Tahu
Hubungan Antara hukum Internasional dan Hukum Nasional
a. Menurut aliran Monoisme. Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum merupakan satu sitem kesatuan hukum yang mengikat apakah terhadap individu-individu dalan suatu negara ataupun terhadap negara-negara dalam mesyarakat internasional.
b. Menurut aliran Dualisme. Aliran ini menganggap bahwa hukum internasional dan hokum nasional ada 2 sistem hukum yang terpisah, berbeda satu sama lain. Perbedaan itu menurut aliran ini terdapat pada: perbedaan sumber hukum, dan perbedaan kekuatan hukum
5. Perubahan Pasal 11 UUD 1945
Pada tahun 2001, pasal 11 UUD 1945 mengalami perubahan yaitu perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, menjadi tiga ayat:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat 3 ini, mengenai perjanjian internasional akan diatur dengan undang-undang, jadi bukan sekedar diatur di dalam Surat Presiden. Undang-Undang mengenai perjanjian internasional ini ternyata telah lahir sebelum perubahan pasal 11 ini. Lahirnya undang-undang ini berawal dari diajukannya RUU tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional oleh Pemerintah kepada DPR tanggal 22 Mei 2000. Setelah melewati pembahasan yang cukup intensif mulai tanggal 4 Juli 2000, baik dalam Rapat Kerja, Panitia Kerja maupun Tim Perumus, akhirnya RUU tersebut disetujui oleh DPR untuk menjadi undang-undang tentang Perjanjian Internasional, No.24 tahun 2000, tanggal 23 Oktober 2000.
Cara-cara mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional, yaitu:
1) Penandatanganan
2) Pengesahan
3) Pertukaran dokumen atau nota diplomatik
4) Cara-cara lain yang disepakati masing-masing pihak.
Bentuk Pengesahan perjanjian internasional, yaitu pengesahan dengan undang-undang dan pengesahannya dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara. 2) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.
3) Kedaulatan atau hak berdaulat negara.
4) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
5) Pembentukan kaidah hukum baru.
6) Pinjaman dan atau hibah luar negeri.
0 komentar:
Posting Komentar